BUKU: Analisis Keterkaitan Antar-Akademisi, Industri, dan Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis dari Perspektif Teori Kompleksitas

Analisis Keterkaitan Antar ABG - Pappiptek LIPI, 2011

Judul Buku: 
Analisis Keterkaitan Antar-Akademisi, Industri, dan Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis dari Perspektif Teori Kompleksitas 

Penulis : 
Dudi Hidayat, Sri Mulatsih, Prakoso Bhairawa Putera, Muhammad Zulhamdani, dan Dini Oktaviyanti. 

Penerbit : 
LIPI Press, 2011, ISBN 978-979-799-681-9 

Catatan Penutup:

CAS ini adalah sebuah jejaring yang terjadi antar agent, dimana didalamnya terjadi interaksi dan agent ini berperan sebagai sel syaraf dalam sebuah CAS. Dari interaksi yang terjadi antar agent inilah nantinya akan terjadi reaksi ataupun hasil yang tidak terduga dan muncul begitu saja karena adanya interaksi antar agent ataupun aktor. 

CAS sebagai sebuah sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan yang bersifat “pengorganisasian-sendiri” (self-organization). Sistem terdiri dari aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh. 

CAS memiliki sifat dasar berupa pengorganisasian-sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa sistem tidak dapat diintervensi. Baik sebagai pengamat maupun sebagai bagian dari sistem, kita dapat melakukan intervensi untuk mengarahkan agar interaksi antar aktor menghasilkan pola yang koheren. Meskipun tidak dapat mengontrol atau memprediksi proses pengorganisasian-diri yang terjadi dalam sistem, kita dapat mengintervensi sistem dengan memahami kondisi yang menentukan arah, trayektori dan kecepatan proses pengorganisasian-diri. 

Menurut Olson dan Eoyang (2001), terdapat tiga hal yang menentukan proses pengorganisasian-diri: wadah-pembatas (Container), perbedaan signifikan (Difference) dan pertukaran yang mentransformasi (Transforming exchange). Pelaku industri dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni : (i) sektor on farm (perkebunan) yang terdiri lebih dari 60 perusahaan (perusahaan perkebunan swasta, perkebunan rakyat dan perkebunan pemerintah/PTPN); (ii) sektor off farm yang terdiri dari a) sektor hulu (pengolah Crude Palm Oil), yang biasanya merangkap sebagai penanam kelapa sawit dan b) sektor hilir yang mengolah CPO menjadi berbagai produk turunan, antara lain oleochemical, minyak goreng, margarine, dan biofuel. Sejauh ini sektor industri hulu di Sumatra Utara terdiri dari 105 perusahaan dengan total kapasitas terpasang lebih dari 3.540 ton TBS per jam (Herawan dkk, 2009). Sedangkan untuk industri hilir, terdiri dari 15 perusahaan minyak goreng (kapasitas 2,8 juta ton per tahun), 4 perusahaan oleochemical (kapasitas 385 ribu ton per tahun), 3 perusahaan margarin (kapasitas 19 ribu ton per taunh), dan 1 perusahaan biodiesel (kapasitas 240 ton per tahun). Sementara itu, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) kelapa sawit di Sumatra Utara dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (i) lembaga litbang milik pemerintah (Pusat Penelitian Kelapa Sawit/PPKS dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia/LRPI), (ii) lembaga litbang mandiri yang pada umumnya dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta asing, dan (iii) lembaga litbang yang merangkap sebagai produsen bibit. Dalam hal penyediaan bibit, wilayah Sumatra Utara memiliki lebih kurang sembilan produsen bibit sawit di antaranya adalah PPKS, PT Asian Agri, PT Sucofindo, dan PT London Sumatra. Sedangkan untuk pemenuhan tenaga kerja terampil dan kerja sama kegiatan litbang, selain mengandalkan Universitas Sumatra Utara (USU), juga melibatkan beberapa perguruan tinggi unggulan yang berada di Pulau Jawa antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Insititut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). 

Pada level selanjutnya, industri kelapa sawit di Sumatra Utara diperkuat beberapa institusi pendukung yang meliputi lembaga keuangan (terutama bank), lembaga pemerintah (kantor pelabuhan, perpajakan, dll), dan asosiasi industri. Asosiasi industri kelapa sawit yang ada di Sumatra Utara antara lain adalah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APAKSINDO), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Federasi Minyak Makan dan Lemak Nabati Indonesia (FAMNI), dan Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN). Sedangkan Asosiasi gabungan dari berbagai pemangku kepentingan antara lain, Lingkar Sawit Indonesia, Konsorsium Penelitian Sawit Indonesia, dan Dewan Sawit Indoensia. Lebih jauh, dari pihak pemerintah yang relatif banyak berperan di industri kelapa sawit adalah Departemen Pertanian (Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Utara), Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan dan Departemen Perdagangan. Pola dari tiap aktor dalam ABG di Medan (Sumatera Utara) menunjukkan interaksi antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan sektor industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan, walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu – khususnya pada analisis dampak lingkungan (amdal) bagi perusahaan dan peningkatan nilai tambah komoditi produk agribisnis. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbang) Sumatera Utara lebih banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi pembangunan daerah, penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian terhadap daya dukung kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara dengan Industri belum terjalin sebagaimana mestinya. 

Pola linkages di Surabaya (Jawa Timur) menunjukkan keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta pemerintah dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi, industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya jaringan ini. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan penelitian yang dilakukan belum menjadi daya tarik bagi industri untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan industri. Kegiatan penelitian diciptakan berdasarkan keinginan masing-masing aktor di lembaga penelitian tidak berdasarkan keinginan ataupun kemauan industri. Sebaliknya industri tidak mempunyai kemauan untuk mendapatkan hasil litbang. 

Sementara di Surakarta (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun interaksi antara pemerintah dengan industry dan juga industry dengan universitas telah terjalin cukup kuat. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh universitas belum mendapat respon positif dari pemerintah dikarenakan komunikasi yang ada belum berjalan efektif. Iptek sebagai sarana daya saing antar negara juga harus bermanfaat kepada masyarakat sekitar. Dengan kata lain, memilih sektor-sektor yang menjadi kebutuhan masyarakat secara nasional perlu dijadikan sebagai misi pengembangan IPTEK. 

Kunci utama pengembangan dan implementasi konsep terhadap sektor kebutuhan masyarakat adalah kreativitas dari masing-masing stakeholder yang terlibat, baik dari unsur Akademisi sebagai peneliti, kalangan Bisnis sebagai pelaku, dan pihak Government sebagai pemangku kebijakan. Sinergi antara Akademisi, Bisnis, dan Government (ABG), diharapkan daya saing Indonesia sebagai negara dan bangsa akan semakin tinggi. Sinergi yang baik atau rantai kinerja harus terjadi antara perguruan tinggi yang menghasilkan sumber daya manusia dan teknologi, pengusaha atau industriawan yang memberdayakan secara optimal sumber daya manusia dan teknologi, pemerintah yang memfasilitasi dengan perundangan, pertauran serta infrastrukturnya, masyarakat yang kreatif dan dengan komitmen yang tinggi terhadap kemajuan industri sendiri. 

Dengan sinergi semacam itu yang disebut dengan sinergi ABG sangat patut dikembangkan secara solid untuk mengatur ketertinggalan dengan bangsa lain. Dengan terbentuknya sinergi tersebut maka industri yang berbasis riset dan sumber daya yang tangguh akan terbentuk dan memiliki keunggulan komparatif. Konsep ekonomi dan inovasi harus menjadi satu kesatuan sehingga dapat bersinergi, hal ini penting bagi daerah. Ada baiknya wadah yang muncul bukan hanya wadah yang ada sekarang, tetapi ada wadah lain yang memang disesuaikan dengan kepentingan. Peran penting dari lembaga-lembaga riset pun menjadi salah satu faktor yang bisa dipakai untuk mengintervensi munculnya wadah-wadah baru di daerah. (*Prakoso Bhairawa Putera)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More