Nostalgian Kuliner di Kota Palembang

Kerinduan itu segera menuntun kaki saya menyusuri tempat-tempat yang sedari kuliah dulu menjadi tempat pilihan saya bersama rekan-rekan menghabiskan akhir pekan atau sekadar mentraktir para sahabat. (*Prakoso Bhairawa Putera)

ARAH PERUBAHAN UU IPTEK

Namun, rencana perubahan tidak mencantumkan peneliti dan perekayasa sebagai bagian penting dari sumber daya.Padahal, pelaku aktivitas penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek terletak pada peneliti dan perekayasa.

Makam Kesultanan Palembang Darussalam

Masyarakat Palembang mengenal kompleks pemakaman ini dengan sebutan Kawah Tekurep. Nama tersebut berasal dari bentuk atap bangunan utama pemakaman yang berbentuk cungkup (kubah) melengkung berwarna hijau. (*Prakoso Bhairawa Putera)

Penyerahan Hadiah Pemenang LKTI Seskoal 2012

Komandan Seskoal Laksamana Muda TNI Arief Rudianto, SE., menyerahkan hadiah kepada pemenang lomba karya tulis ilmiah dengan tema “Menuju Kejayaan NKRI sebagai Negara Kepulauan yang Bervisi Maritim”.

"MABUK OTDA" KETIKA DAERAH BARU (DINILAI) GAGAL

Gegap gempita otonomi ternyata membawa konsekuensi logis dengan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah.(Esquire Indonesia, Juni 2013 *Prakoso Bhairawa Putera)

Arah Perubahan UU Iptek


PRAKOSO BHAIRAWA PUTERA
Civitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Beberapa pekan terakhir, Kementerian Riset dan Tek nologi (KRT) giat-giat nya melaksanakan uji publik naskah akademik RUU Sistem Inovasi Nasional/Amandemen UU No18 Tahun 2002. Layaknya mekanisme uji publik, sejumlah daerah dan pemangku kepentingan terkait dengan iptek dan inovasi telah disambangi untuk mendapatkan masukan. Bahkan, naskah akademik tersebut di-publish di website ristek.go.id untuk mendapatkan pandangan dari masyarakat. 

Namun menariknya, UU yang telah ada sejak 13 tahun lalu ternyata masih tidak dikenal oleh sebagian komunitas iptek. Bahkan, hasil penelitian dari Pappiptek LIPI 2009 dan 2011, terungkap mereka (komunitas iptek) di daerah tidak mengenal UU No 18/2002, demikian juga dosen dan peneliti di perguruan tinggi.

Wajar saja jika respons rencana perubahan UU yang menjadi payung penyelenggaraan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di republik ini tidak seheboh UU Pemda atau UU lainnya. Bagaimana tidak? Keberadaan UU itu pun tidak idol di kalangannya sendiri apalagi berharap dari luar kalangan itu. Padahal, pada sejumlah kesempatan, ketika SBY bertemu masyarakat ilmiah pada 2010 dan perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 2012, selalu menekankan untuk menjadikan bangsa Indonesia menguasai iptek. Dengan tegas SBY menyampaikan, "Kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa. Kita harus bisa menjadi innovation nation-bangsa inovasi! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif." 

Menyadari keinginan yang kuat dari SBY tersebut maka Menteri Riset dan Teknologi bersama-sama perangkatnya merespons dan memandang penting untuk melakukan perubahan terhadap UU Iptek sebagai landasan pijak. Terlepas dari quick response tersebut, jika dibaca secara seksama maka secara konten UU No 18/2002 memang sudah ketinggalan zaman. Di mana, UU tersebut disusun dalam nuansa iptek masih sangat do minan sifat supply-push sehingga kurang selaras dengan orientasi demand-driven yang menjadi roh dari sistem inovasi. 

Walaupun disadari juga terminologi demand-driven sangatlah beragam, tetapi intinya adalah pengembangan iptek diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang tengah dihadapi. Ini tentunya selaras juga dengan semangat Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, memosisikan iptek untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. 

Dari naskah akademis yang sedang dilakukan uji publik saat ini, ternyata titik tekan perubahan merujuk pada materi kebijakan penguatan inovasi yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu Perpres No 32/2011, Keputusan Menristek tentang arah penguatan sistem inovasi nasional, Bab IV Buku II RPJMN 2010- 2014. Kondisi tersebut mengindikasi bahwa perubahan UU No 18/2002 tidak lebih dari penyesuaian atas kebijakan yang ada, atau dalam kalimat naskah akademis tersebut "diarahkan untuk mengakomodasi upaya penguatan inovasi" yang notabene sudah terdapat pada tiga dokumen regulasi terdahulu. 

Perubahan UU No 18/2002 fokus pa da empat hal, pertama, penguatan jaring an rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta. Kedua, peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi-pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi. Ketiga, peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat. Dan keempat, ruang lingkup kegiatan inovasi adalah NKRI. 

Secara khusus, isu penting dalam kegiatan litbang sudah coba diakomodasi, seperti dengan memasukkan pasal mengenai perjanjian pengalihan bahan (material transfer agreement atau MTA). Keberadaan pasal ini penting meng ingat sejumlah kasus klaim atas sumber daya hayati, sampel, atau spesimen khas Indonesia oleh pihak asing. Pasal MTA mempertegas kembali Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture yang telah ada pada UU No 4/2006. 

Namun, rencana perubahan tidak mencantumkan peneliti dan perekayasa sebagai bagian penting dari sumber daya. Pasal 11 UU No 18/2002 sumber daya iptek disebutkan dengan tidak lugas, yaitu terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia, dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek. Padahal, pelaku aktivitas penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek terletak pada peneliti dan perekayasa.

Jika perubahan ini semangatnya untuk mengakomodasi upaya penguatan inovasi maka harus memperhatikan penguatan aliran pengetahuan dan mobilitas human capital (Bab IV Buku II RPJMN 2010-2014), meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan SDM (Jakstranas Iptek 2010-2014), dan sistem remunerasi peneliti (MP3EI). Kesemuanya merujuk pada sumber daya peneliti dan perekayasa. 

Proses uji publik memang sedang berlangsung sampai KRT (sebagai pengusul) mencapai bentuk ideal dari perubahan UU. Untuk pada tahap selanjutnya, tentulah dukungan dan energi positif dari seluruh komunitas iptek dan pemangku kepentingan lainnya sangat dibutuhkan.

MAKNA DIBALIK NAMA "BHAIRAWA"

sumber: http://richo-docs.blogspot.com
MEMILIKI nama yang tidak umum alias tidak pasaran cenderung membuat diri bertanya-tanya. Mungkin nama tengah dari saya rada tidak umum didengar dan ditulis. Yah, paling tidak sudah banyak kejadian yang menjadikan nama tengah saya terkadang tidak sama ditulis. Hal ini sering terjadi ketika pemesanan tiket pesawat via telephon ataupun pengetikan pada sitasi karya tulis ilmiah.

"BHAIRAWA" itulah nama tengah saya. Sejak SD saya sudah bertanya kepada bapak tentang makna kata tersebut, tetapi bapak selalu saja mengatakan "Kamu harus cari artinya sendiri!". "Kenapa harus cari sendiri?" tanya koko kecil waktu itu. Bapak hanya santai saja menjawab, "Dengan kamu mencari sendiri dan mengetahui makna ataupun arti dari kata itu maka kamu akan bertanggung jawab atas nama itu". Coba bayangkan, anak seusia SD kelas 5 yang tiba-tiba bertanya makna kata di namanya harus disodorkan jawaban semacam itu. Tapi itulah bapak, selalu mengajak diskusi koko kecil tentang hal-hal baru atas pertanyaan anaknya ini.

Oke,.kembali ke "BHAIRAWA",..akhirnya setelah sekian lama galau dengan makna kata tersebut, diakhir tahun 2009 saya baru menemukan kata itu pada sebuah tanda nama arca di sebuah museum di Jakarta. Arca Bhairawa adalah namanya. Ia merupakan sebuah koleksi patung batu raksasa berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton dan terbuat dari batu andesit. Arca raksasa ini aslinya terletak di bukit di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan dibawahnya mengalir sungai Batanghari. Berdasarkan sejumlah yang ada, disebutkan bahwa Arca ini menggambarkan "Bhairawa", suatu dewa-raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana, yaitu pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Arca ini dikaitkan sebagai perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra.

Namun, pencari makna "Bhairawa" tidak berhenti sampai disana. Berdasarkan sejumlah pencarian baik di perpus ataupun di jejaring, saya pun menemukan sejumlah penjelasan yang sangat lengkap dan membuat saya semakin penasaran akan makna nama itu. Setelah dari arca, maka nama "Bhairawa" saya temukan di salah satu artikel terbitan Majalah Hindu Raditya di bulan Oktober 2012. Artikel tersebut ditulis oleh I Wayan Miasa dengan judul "BHAIRAWA-BHAIRAWI DAN JEJAK TRADISINYA DI BALI". Kali ini saya kutip semuanya tanpa adanya editan.
Menurut maknanya “bhairawa” berarti menakutkan atau mengerikan. Bhairawa merupakan salah satu perwujudan Dewa Siwa dalam aspek peleburan dengan perwujudan yang sangat menyeramkan. Bhairawa juga dikenal dalam berbagai bahasa dengan berbagai sebutan, misalnya: Bhairava (Sanskrit), Bheruji (Rajasthan), Vairavar (Tamil) dan bila semua kata tersebut dihubungkan aspek Dewa Siwa, maka makna kata Bhairawa berarti “peleburan”.
Membaca artikel di majalah tersebut membuat saya semakin ngeri dengan cerita dibalik nama itu sendiri. Singkatnya menurut cerita masyarakat Hindu di daerah Rajasthan, Tamil Nadu dan Nepal bahwa kemunculan Bhairawa berkaitan erat dengan penghukuman Dewa Brahma. Cerita lengkapnya baca langsung di artikel Majalah Hindu Raditya (caranya klik kanan di link Majalah Hindu Raditya pada posting ini). Menurut cerita bahwa Bhairawa memiliki delapan perwujudan, seperti “Kala”(hitam), “Asitanga” (berbibir hitam), “Sanhara” (penghancuran), “Ruru”(cicing borosan), “Krodha”(kemarahan), “Kapala”(tengkorak), “Rudra”(badai), dan “Unmatta”(kekejaman).

Dari sumber lain saya mendapatkan bahwa "Bhairawa" dalam bahasa Sanskerta: भैरव, yang artinya "Mengerikan" atau "Menakutkan", kadang disebut Bhairo atau Bhairon atau Bhairadya, Bhairawa adalah salah satu perwujudan Siwa dalam bentuk yang menakutkan, dihubungkan dengan tindakan pemusnahan atau pembinasaan.Dia adalah salah satu dewa terpenting di Rajasthan dan Nepal, disucikan oleh umat Hindu dan Buddha Tantrayana. Ia digambarkan berhiaskan belitan ular yang dikenakan sebagai anting, gelang, gelang kaki, dan tali kasta (yajnopavita). Ia mengenakan cawat kulit harimau dan berhiaskan rangkaian tengkorak manusia. Bhairawa memiliki seekor serigala sebagai wahana (kendaraan). (Sumber posting http://id.wikipedia.org/wiki/Bhairawa)

Berdasarkan sumber lain terungkap juga bahwa "Bhairawa" merupakah salah satu paham. Bagaimana kemunculan paham ini, simak kutipan langsunga berikut:
Konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada Dewa. Di dalam konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat pasif yang juga disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau Bhatara-Bhatari yang oleh pikiran manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri dan juga dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para pemuja sakti ini disebut Sakta.

Dalam perkembangannya lebih lanjut daripada Saktiisme ini, maka muncullah Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Di India penganut Tantriisme lebih banyak terdapat di India-Selatan daripada di India Utara. Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain Mahanirwana Tantra, Kulanarwana Tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra, Tantrasara dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia. Dari Trantriisme muncullah suatu paham Bhairawa yang artinya “hebat”. Paham Bhairawa secara khusus memulai kehebatan daripada Sakti dengan cara-cara yang spesifik. Bhairawa inipun berkembang sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia.

Di Indonesia masuknya Saktiisme, Tantriisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke-7 melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatera sebagaimana diberikan persaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga macam Bhairawa yaitu: Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas-Sumatera Barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja Singosari - Jawa Timur serta oleh Adhityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan Bedulu Gianyar. Aliran-aliran Bhairawa ini mempunyai tendensi politik guna mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan negara (baca kerajaan). Maka dari itulah Bhairawa ini diikuti oleh raja-raja dan petinggi pemerintahan serta tokoh-tokoh masyarakat saja pada zaman dahulu.
Nah, karena saya meyakini bahwa nama yang diberikan oleh para orang tua bagi anak-anaknya adalah sebuah hadiah yang tiada tara, maka saya memandang makna "Bhairawa"pada nama tengah saya sebagai makna yang baik dan tulus. Sehingga saya bisa mensimpulkan bahwa "Bhairawa" itu adalah "Peleburan" dan "hebat".

TINGKAT KOLABORASI PENELITI PADA PROGRAM INSENTIF “SEMI TOP-DOWN” KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI, TAHUN 2008—2010

Setiowiji Handoyo, Prakoso Bhairawa Putera
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi -
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

SARI KARANGAN

Program insentif Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) merupakan stimulus dalam rangka peningkatan kolaborasi penelitian di Indonesia. Kolaborasi riset menjadi jembatan kerjasama antar peneliti atau organisasi, baik dalam hal sumber daya manusia, peralatan, dana, gagasan, dan lain sebagainya melalui dukungan pendanaan dari KRT. Guna mengetahui gambaran kegiatan riset-riset yang dibiayai dari Program Insentif maka penelitian ini dilaksanakan. Tujuan lain riset ini adalah untuk melihat bagaimana tingkat kolaborasi/kerjasama riset yang dilakukan oleh para peneliti yang melakukan kegiatan insentif. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan data kuantitatif. Sumber data berasal dari pengelola program insentif KRT. Analisis dilakukan terhadap seluruh kegiatan insentif yang dibiayai oleh program insentif KRT selama tahun 2008—2010. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa dari 1.226 kegiatan yang dilaksanakan pada program insentif KRT tahun 2008-2010 kegiatan terbesar dilakukan pada jenis insentif riset terapan (498 kegiatan). Sedangkan menurut bidang fokus, kegiatan terbanyak berada pada kelompok bidang ketahanan pangan (386 kegiatan) dan menurut bidang ilmu berada pada kelompok bidang ilmu rekayasa (553 kegiatan). Tingkat kolaborasi peneliti pada kegiatan insentif didapatkan 20,43% dilakukan secara berkolaborasi oleh dua orang peneliti atau lebih.

Kata kunci: Kolaborasi, Program Insentif KRT, Jenis Insentif, Bidang Fokus, Bidang ilmu

A B S T R A C T

Incentive programs the Ministry of Research and Technology (KRT) is a stimulant in order to increase collaborative research in Indonesia. Collaborative research to be a bridge of cooperation between researchers and organizations, both in terms of human resources, equipment, funds, ideas, and so forth, all through the funding support of KRT. In order to reveal the research activities financed from the Incentive Program, the research was conducted. Another objective of this research is to see how the level of collaboration/cooperation on research conducted by the researchers conducting incentive. This research is a descriptive study using quantitative data. Source data from KRT incentive program managers. Analysis was performed on all activities financed incentive incentive program KRT during 2008-2010. The results of this study concluded that from 1226 the activities carried out in the years 2008-2010 incentive program KRT greatest activity conducted applied research on the types of incentives (498 events). Meanwhile, according to the focal plane, most activities are in the areas of food security (386 events) and according to science should be in the field of engineering sciences (553 events). Collaboration of researchers at the activity level incentives earned 20.43% done in collaboration by two or more researchers.

Keywords: Collaboration, KRT Incentive Program, Incentive Type, Focus Areas, Field of science

Publikasi pada Jurnal Ilmiah "Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang" Volume 10, No. 2 Tahun 2012, Halaman 99--14

INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT SPESIFIK LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN: IMPLEMENTASI MODEL ACSI

Budi Triyono dan Prakoso Bhairawa Putera

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi –
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jln. Jend. Gatot Subroto No. 10, Gd Widya Graha Lantai 8, Jakarta 12720
Email: prak001@lipi.go.id, prakoso.bp@gmail.com

Abstract

Law number 25 year 2009 concerning Public Service highlights one important thing about Community Satisfaction Index (CSI). CSI becomes an important aspect to see the extent to which Unit of Organization is able to provide excellent service. CSI measurement is generally refer to the Ministry of Administrative Reform Decision Number KEP/25/M.PAN/2/2004 concerning General Guidelines to Measure Community Satisfaction Index. However, the measurement is felt less suitable for research institute organizations and development (R & D). Institute for R & D organization has specific characteristics that require measurement-oriented CSI such specificity. This paper provides a concept of development of CSI is more suitable measurement implemented for R & D institutions in Indonesia. The concept is oriented towards the development of measurement products and services R & D, product and service performance of R & D services, the performance of the delivery staff, accessibility, communication,satisfaction with services R & D products and services, the impact of satisfaction, and improved services.
Keywords: CSI, Public Service, Institute for Research and Development, Reforms

 Abstrak

Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menggaris bawahi salah satu hal penting mengenai Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Keberdaan IKM menjadi penting untuk melihat sejauh mana unit organisasi mampu memberikan pelayanan prima. Pengukuran IKM yang umumnya digunakan merujuk pada KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat. Pengukuran tersebut dirasakan kurang cocok digunakan untuk lembaga organisasi penelitian dan pengembangan (litbang). Lembaga Organisasi litbang memiliki karakteristik khusus sehingga membutuhkan pengukuran IKM yang berorientasi pada kekhususan tersebut. Makalah ini memberikan konsep pengembangan pengukuran IKM yang lebih cocok diimplementasikan bagi lembaga litbang di Indonesia. Konsep pengembangan pengukuran ini berorientasi pada penggunaan produk dan jasa litbang, kinerja layanan produk dan jasa litbang, kinerja staf penyelenggaran, aksesibilitas, komunikasi, kepuasan terhadap layanan produk dan jasa litbang, dampak kepuasan, dan perbaikan layanan.

Kata kunci: IKM, Pelayanan Publik, Lembaga Litbang, Reformasi
Publikasi Jurnal Borneo Administrator , Volume 9, No. 1 Tahun 2013: Halaman 53--74

BEASISWA PENULISAN TUGAS AKHIR (SKRIPSI), ADAKAH???

TULISAN ini hadir karena adanya pertanyaan dari salah satu pengunjung blog yang ingin mengetahui tentang beasiswa penulisan tugas akhir terutamanya skripsi. 

Terus terang saya memang belum terlalu familiar dengan istilah beasiswa untuk skripsi, karena umumnya beasiswa penulisan akhir itu diberikan kepada mahasiswa S2 atau S3 yang sedang menyelesaikan tesis atau pun desertasi. Namun, setelah saya berusaha mencari-cari dari google maka saya menemukan beberapa informasi yang mungkin baik untuk di share di blog ini.

  1. Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini sedang membuka pendaftaran Bantuan Dana Pembinaan Mahasiswa Mahasiswa Tahun 2013. Salah satu programnya adalah pembinaan terhadap mahasiswa berprestasi tapi secara ekonomi kurang mampu dalam menyelesaikan tugas akhir. Persyaratan buka dilink berikut ini: Form Pendaftaran dan Persyaratan Pengajuan Beasiswa.
  2. Dalam rangkaian ulang tahun Mizan ke-30 ini, Mizan kembali meluncurkan program Beasiswa Mizan. Program ini telah menjadi tradisi lama Mizan. Namun dalam beberapa tahun terakhir sempat vakum. Pada era 90-an, beasiswa Mizan menjadi daya tarik tersendiri para mahasiswa tingkat akhir. Mereka berlomba untuk mendapatkan beasiswa ini karena sedikitnya tiga alasan. Pertama, tugas akhir mereka berkesempatan dinilai oleh penerbit dan dewan juri. Kedua, mereka akan mendapat dana bantuan penelitian, dan yang terakhir, karya tulis mereka berkesempatan untuk diterbitkan. Ada kesan umum bahwa yang mendapat beasiswa mizan, pastilah skripsinya berbobot, selengkapnya,...

"MABUK OTDA" KETIKA DAERAH-DAERAH BARU (DINILAI) GAGAL

"Mabuk Otda" Teks: Prakoso Bhairawa Putera
 Bulan Juni 2013 ini,Majalah Esquire Indonesia kembali menampilkan artikel yang saya tulis dengan judul "Mabuk Otda" (Otonomi Daerah). Artikel ini secara umum menjabarkan fakta dan data mengenai kegagalan yang banyak ditimbulkan dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom baru yang dimekarkan pada masa orde reformasi. 

berikut kutipan dari artikel tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (Pusat Bahasa) kata ‘mabuk’ berarti berasa pening atau hilang kesadaran, berbuat diluar kesadaran. Namun ‘mabuk’ dapat juga dimaknai sebagai keadaan dimana terjadinya kondisi penurunan kemampuan mental dan fisik. Dilihat dari gejala umum, maka dalam kondisi mabuk akan terlihat adanya keseimbangan yang kacau, koordinasi buruk, kelakukan aneh dan bicara menjadi tidak jelas. Bahkan tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan sadar.

Sangat tidak berlebihan jika otonomi daerah (otda) yang ada sejak digulirkan era reformasi dikatakan dalam kondisi mabuk. Bagaimana tidak? Berdasarkan evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap daerah otonomi baru atau sering dikenal dengan ‘DOB’ (7 propinsi, 164 kabupaten dan 34 kota) dalam kurun 1999-2009 hanya dua kota yang memperoleh poin 60 dari 100 poin. Selebihnya daerah otonomi baru dianggap gagal.

Selengkapnya,..dapat dilihat di Majalah Esquire Indonesia, edisi Juni 2013

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More