Penguatan (Kebijakan) Kemandirian Pangan


PEMERINTAH tidak belajar dari masa lalu dalam mengatasi persoalan pangan di negeri ini. Terbukti kebijakan impor kedelai bersamaan dengan panen raya, akibatnya kedelai lokal merana medio November 2013. Kini berulang, dengan gonjang ganjing masuknya beras impor Vietnam. Berdasarkan uji laboratorium oleh PT Sucofindo dan para ahli Institut Pertanian Bogor (IPB), beras tersebut memiliki kadar kepecahan di bawah 5% (tergolong premium). Kondisi ini dapat mengganggu pasar beras produksi lokal, yakni harga beras impor tersebut lebih murah dengan kualitas premium daripada beras medium lokal (Bulog).

Terlepas dari polemik impor beras, kebijakan impor ternyata menjadi pilihan bagi pemerintah untuk menciptakan kondisi aman pangan. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam penyediaan pangan menunjukkan `kepanikan' (Fizzanty dan Aminullah, 2010). Yakni, ketika konsumsi semakin meningkat dan laju produksi dipandang tidak mampu memenuhi kebutuhan, mendorong pemerintah untuk melakukan impor. Bahkan memberi bebas bea masuk untuk pangan kedelai, misalnya. Kepanikan dalam merespons telah memperburuk kondisi penyediaan pangan nasional. Puncaknya ketika stok kedelai impor masih banyak di gudang seperti saat ini, dan adanya peningkatan produksi dalam negeri, importir melepas stok dengan harga murah. Konsumen dalam hal ini jelas diuntungkan, tetapi bagi petani lokal menjerit. Belum lagi persoalan beras impor yang dapat mematikan pasar beras produksi lokal.

Pilihan policy action

Pada konteks kekinian, pembangunan dapat berjalan dengan baik apabila negara kuat. Negara kuat ialah negara yang mampu meningkatkan kapasitasnya untuk membangun kebijakan publik yang unggul. Kondisi ini mensyaratkan negara untuk membentuk `lingkungan' atau `iklim' yang membangun daya saing setiap aktor di dalamnya. Iklim itu diciptakan melalui kebijakan publik yang memberdayakan setiap elemen dalam negara.

Merujuk pada paradigma ketahanan pangan nasional, selalu diarahkan pada kebijakan swasembada dan stabilitas harga. Ini diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar yang ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar. Di sisi lain ambisi swasembada, sulit untuk tercapai. Coba tengoklah Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS edisi Februari 2014 yang diterbitkan di laman, bahwa rata-rata secara nasional harga beras pada Januari 2014 sebesar Rp11.224 per kg, naik 1,36% dibanding kan Desember 2013.

Jika dibandingkan Januari 2013, harga beras naik 3,72%, lebih rendah jika di bandingkan dengan inflasi tahun ke tahun periode yang sama sebesar 8,22%.
Artinya, pemilik beras peda gang, petani, konsumen, Bulog, dan industri berbahan baku beras mengalami penurunan nilai riil sebesar 4,50%. Kenaikan tertinggi terjadi di Padang (7%) dan Lhokseumawe (5%).

Di sisi lain upaya menuju swasembada beras belum signifikan. Kenaikan produksi baru sebesar 2,62% dari 2012. Kebijakan swasembada dan stabilitas harga yang diprioritaskan selama ini tidaklah salah, namun penguatan akses masyarakat untuk memperoleh pangan dan kemandirian pasok dalam jangka panjang menjadi penting. Kebijakan jangka pendek acap dipilih, tetapi di sisi lain upaya jangka menengah dan panjang diabaikan.

Kebijakan penguatan kemandirian pasokan dapat ditempuh dan diarahkan pada pengembangan sistem berbasis keberagaman sumber daya, inovasi teknologi, kelembagaan, dan budaya lokal. Kesemuanya dibutuhkan dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah yang dibutuhkan.

Pada kasus beras, kestabilan penyediaannya dapat dicapai dengan mengurangi impor beras yang ke depannya melalui peningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan nonkonsumsi. Pe ningkatan produksi dapat dicapai melalui inovasi teknologi khususnya bioteknologi yang aman bagi kesehatan.

Pemerintah di 2013 memang telah menurunkan impor beras sebesar 73,89%.
Walau demikian, di 2013 pemerintah melakukan ekspor dalam jumlah besar yaitu 2.585.718 kg, meningkat dari tahun sebelumnya 897.179 kg. Atau naik 188% (BPS, 2014). Dua kondisi yang saling bertolak belakang. Logikanya, kebijakan ekspor ditempuh apabila produksi dalam negeri telah mencukupi kebutuhan internal dan masih berlebih. Dengan melihat data tersebut, dapat diasumsikan seharusnya impor beras bisa semakin diminimalkan.

Hasil riset unggulan

Upaya dan kontribusi telah dilakukan sejumlah peneliti di Indonesia. Masalah yang ditengarai menjadi pemicu tersendatnya produksi, seperti pola tanam yang acap kali dikesampingkan dan tanpa metode yang tepat untuk menyesuaikan dengan iklim dan jenis tanah yang ada. Kondisi ini kemudian dijawab dengan sejumlah inovasi di bidang pangan, seperti hadirnya benih unggul padi berbasis biologi molekuler dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.

Padi ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik, daya hasil tinggi dan kaya nutrisi. Benih unggul ini untuk menjawab tantangan penyediaan pangan di masa datang akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi, konversi lahan dan perubahan iklim ekstrim akibat pemanasan global. Belum lagi hasil riset dari sejum lah lembaga lain seperti BATAN dengan 20 varietas padi unggulnya, Badan Litbang Pertanian, dan lain-lain. Namun, hasil unggulan ini sering terkendala adanya batasan birokrasi di mana hasil riset sulit untuk diim plementasi kan.

Inovasi yang dihasilkan dalam bidang pangan bukanlah sekali dua kali. Setidaknya sudah sejak 2000 sejumlah panen raya hasil inovasi dilakukan di sejumlah tempat dengan mendatangkan pejabat di negeri ini. Namun, semuanya terhenti seusai pemberitaan. Alasan klasik kemudian bermunculan bahwa hasil inovasi tersebut sulit diimplementasikan petani, petani sulit mendapatkan suplai bibit unggul, dan pihak industri tidak terlalu berminat terhadap produk hasil penelitian. Kesemua alasan seolah-olah tidak bisa dicarikan solusi. Padahal belajar dari pengalaman sejumlah negara yang sukses mengimplementasikan hasil riset untuk pertaniannya, tidaklah sulit rasanya. Jawabnya sederhana, yaitu komitmen. Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai kitchen of the world.

Ada persoalan yang harus dipecahkan bersama, yakni kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, melainkan berdiri sebagai bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang memang merupakan wilayah politik terutama bagi negara seperti Indonesia.

Riset acap kali dipojokkan ketika bicara kemandirian pangan atau sejenisnya, peneliti dipandang kurang berkontribusi. Padahal, seringkali penyakit lupa datang bahwa ketika arah kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.

Keberanian mengeluarkan kebijakan mesti diikuti dengan pelaksanaan pembaruan agraria dengan pengalokasian wilayah penanaman kedelai.
Begitu juga dengan keberanian menegakkan identitas bangsa dengan menempatkan hasil invensi peneliti sebagai solusi.

Prakoso Bhairawa Putera;  
Peneliti pada Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, LIPI

MEDIA INDONESIA,  14 Februari 2014

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More