Prakoso Bhairawa Putera
Peneliti Muda bidang Kebijakan dan Administrasi (Kebijakan Iptek) – LIPI, dan Peserta Program Beasiswa Pascasarjana Ristek 2010 di Universitas Indonesia
Pasal 14 Undang-undang No. 18 Tahun 2002 mengamanatkan "Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat."
Sesuai dengan semangatnya, pasal ini dimaksudkan untuk membuka kesempatan serta mendorong semua pihak, pemerintah dan swasta dalam mengembangkan sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti kawasan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology park) yang dapat memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan serta interaksi unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pusat peragaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menumbuhkan kecintaan dan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di beberapa negara science & technology park merupakan sebuah wahana di perguruan tinggi yang dapat dipergunakan oleh kelompok industri. Ada banyak penamaan yang umum digunakan seperti; "science park", "science city", "technopark", "business park", "technology corridor", "technology zone", dan masih banyak nama lain. Namun, secara umum S&T Park bertujuan untuk membuat link yang permanen antara peguruan tinggi (akademisi), pelaku industri (bisnis ataupun juga finansial), dan pemerintah. S&T Park mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari dunia akademik dan kemampuan finansial (dan marketing) dari dunia bisnis. Diharapkan penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan, dengan harapan untuk memperoleh economic return yang tinggi.
Dalam kondisi idealnya S&T Park akan membuat link yang permanen antara perguruan tinggi dan industri, sehingg terjadi clustering dan critical mass dari peneliti dan perusahaan. Hal ini membuat perusahaan menjadi lebi kuat.
Semangat inilah yang mendorong pemangku kepentingan di Surakarta untuk mendirikan Solo Technopark yang merupakan sebuah embrio pembangunan kawasan iptek yang mampu minimal memprovokasi daerah untuk membuat kawasan semacam ini di daerahnya. Walaupun, harus disadari bahwa tidak banyak daerah dengan semangat tersebut mampu benar-benar mengarahkan setiap potensi dari sumberdaya untuk mendukung penciptaan kawasan iptek seperti yang dicita-citakan.
Solo Technopark dan Sejarahnya
Solo Technopark atau yang kemudian dikenal dengan STP adalah sebuah pusat vokasi dan inovasi teknologi di Kota Surakarta, yang dibangun dari sinergi dan hubungan yang kokoh antar dunia pendidikan, bisnis dan pemerintah (Bapeda, 2009). Sebagai sebuah kawasan iptek, STP dibangun untuk memberikan layanan produksi serta pelatihan dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan daya saing dan kinerja dunia usaha dan dunia industri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, dan memperluas lapangain pekerjaan melalui pembangunai ekonomi berkelanjutan.
Kehadiran STP tidak serta merta muncul begitu saja, berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Putera, dkk (2010) dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek - LIPI mengungkapkan bahwa proses kemunculan STP bermula dari ide sekelompok masyarakat yang merupakan akademisi di kota Surakarta pada periode 1995-1998, yang melihat besarnya jumlah kebutuhan sektor industri di sekitar wilayah Surakarta akan tenaga kerja terampil di bidang permesinan. Sementara itu, pasar tenaga kerja lokal (dalam wilayah Surakarta) tidak bisa memenuhi kebutuhan industri tersebut, sehingga untuk memenuhi kebutuhan, banyak diperoleh dari tenaga luar wilayah. Tergerak untuk menyediakan sumber daya manusia terdidik dan terlatih, maka sekumpulan pimpinan (kepala sekolah) dari Sekolah Menengah Kejuruan di Surakarta bersepakat untuk menyediakan SDM siap kerja.
Pada tahap-tahap awal, sekumpulan kepala sekolah tersebut merintis dengan kerjasama diantara sekolah-sekolah yang ada dengan mengadakan pelatihan di tiap laboratorium yang ada di sekolah. Ide dan semangat untuk menghadirkan tenaga terampil yang siap bekerja di perusahaan ataupun pabrik yang ada di wilayah Surakarta semakin besar dengan adanya dukungan dari pimpinan Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Solo. Perguruan tinggi tersebut bersedia untuk menyediakan tenaga mentor ataupun staf pengajarnya untuk memberikan pelatihan terkait dengan teknik mesin bagi siswa-siswa ataupun lulusan SMK untuk siap kerja.
Di sisi lain, sekelompok pendidik di ATMI mulai menyadari bahwa penguatan jaringan di dalam wilayah Surakarta tidaklah cukup, maka mulailah melakukan kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Kerjasama dengan ITB dibina dalam rangka memberikan standar terhadap keahlian dimiliki oleh tiap peserta pelatihan. Pada akhirnya dilakukan sertifikasi kemampuan dan keterampilan permesinan untuk pertama di Indonesia terhadap para siswa ataupun lulusan SMK di awali dari SMK di Surakarta. Kerjasama tidak hanya dilakukan terhadap institusi di dalam negeri, ATMI kemudian membuka peluang kerjasama dengan pihak-pihak yang ada di luar negeri. Salah satunya dengan institusi di Jerman melalui programa IGI (Indonesia German Institut). Proses ini dilakukan sepanjang kurun waktu 1998-2001.
Keberhasilan membuka peluang kerjasama dengan pihak institusi di Jerman melalui program IGI memberikan perubahan besar dalam pola kerjasama antara ATMI dan SMK yang selama ini telah terbina. Program kerjasama IGI menghendaki adanya pola kerjasama yang terorganisir dengan wadah terlembaga. Proses inilah awal dari masuknya pemerintah daerah di Surakarta berpartisipasi dalam kerjasama. Masuknya IGI sebagi bentuk kerjasama antar Indonesia dengan Jerman yang ditempatkan di beberapa wilayah di Indonesia, dan Surakarta menjadi salah satu wilayah program, maka keterlibatan pemerintah daerah Kota Surakarta menjadi penting sebagai penguasa pemerintahan lokal di wilayah Surakarta.
Proses pelembagaan ini didasarkan pada lolosnya ATMI sebagai salah satu dari 18 (delapan belas) institusi pendidikan di Indonesia yang menerima bantuan IGI (Indonesia German Institut). Tujuan kerjasama ini untuk pembangunan teknologi yang sudah dimiliki dan bekerjasama dengan pemerintah setempat (Kota Surakarta) membuat lembaga pendidikan baru yang dikembangkan sebagai Institut Sister. Pendirian Institut Sister pun didirikan dengan nama Surakarta Competency and Technology Center atau yang lebih dikenal dengan SCTC.
Pesatnya perkembangan SCTC sebagai pusat pelatihan mekanik di Surakarta mampu berkontribusi dalam melatih pemuda pengangguran, mengupayakan tempat kerja, serta mewujudkan terbentuknya jaringan kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan industri yang saling melengkapi. Kesuksesan ini mendapat sambutan dari Walikota Surakarta, Ir. Joko Widodo untuk mengembangkan konsep SCTC menjadi lebih luas cakupan, dan menambah bidang-bidang keterampilan yang diperlukan untuk pemenuhan pengembangan teknologi masa depan yang dinamakan Solo Technopark atau selanjutnya dikenal dengan STP. Konsep inipun digagas sejak tahun 2006.
Pengembangan SCTC yang awalnya hanya melakukan diklat untuk mekanik, kini ditambah dengan pelatihan Teknik Pengelasan (welding) yang diperuntukan bagi penyediaan tenaga pengelasan di industri-industri galangan kapal. Perluasan SCTC menjadi STP berdampak dengan pengalihan lokasi, dengan pengembangan menjadi institusi yang tidak hanya sebagai wahana diklat, tetapi juga untuk mengembangkan riset dan teknologi, khususnya teknologi di bidang ilmu-ilmu terapan (applied science).
Maka Solo Technopark diarahkan sebagai pusat pendidikan dan teknologi, pusat riset, pusat pelatihan dan pusat inkubasi produk baru, serta pusat industri dan perdagangan. Solo Technopar:k dirancang untuk menjadi kawasan terpadu menggabungkan dunia industri, perguruan tinggi, riset dan pelatihan, kewirausahaan, perbankan, pemerintah pusat dan daerah, yang sarat dengan teknologi, di kawasan Pedaringan, Jebres, Solo, Jawa Tengah. Bidang fokus yang diprioritaskan dalam proses inkubasi mencakup: bioenergy, pengolahan rumput laut (karagenan), waste threatment, serta industri kreatif (batik).
Perioderisasi Pembentukan Solo Technopark
Perjalanan STP saat ini barulah pada tahap Nucleation dari empat tahap dalam proses pembentukkan klaster industri yang inovatif, dengan pelibatan lebih banyak aktor dan kerjasama di dalamnya. Di sisi lain sedang disiapkan suatu kawasan yang akan menjadi sentra dari beberapa perusahaan dalam suatu kawasan STP sehingga pada akhirnya membentuk daerah khusus industri. Kemampuan STP melewati tahapan incubation, dimana program SCTC dari IGI Sister telah berhasil mempercepat pengembangan kewirausahaan melalui serangkaian dukungan sumber daya dan jasa. Pengembangan dilakukan dengan manajemen dan jaringan komunikasi yang baik. Esensial dari proses incubation ini ialah
mengembangkan kemampuan umum masyarakat ataupun daerah Surakarta khususnya, melalui keterbukaan terhadap budaya lain dan ide-ide baru.
Menuju kawasan inovatif di masa depan oleh STP masih membutuhkan waktu dan dukungan dari setiap pemangku kepentingan, tidak hanya pada level daerah tetapi pada pengambil keputusan ditingkat pusat juga. Mungkin saja STP bisa mencatatkan diri sebagai bagian dari keberhasilan technopark dibelahan dunia lainnya seperti Technopark pertama yang didirikan dengan dukungan Stanford University di California atau yang lebih dikenal sebagai Silicon Valley, dimana 200.000 lebih orang professional berkualitas internasional bekerja untuk produk-produk dengan nilai tambah tinggi. Atau bisa seperti Sophia Antipolis (Perancis) dan Tsukuba Science City (Jepang). Barangkali bisa seperti klaster di tiga negara tetangga yakni Taiwan dengan Hsinchu Science Park, India dengan Bangalore ICT Cluster, dan Thailand dengan Hard Disk Drive Cluster.
Sebuah catatan di akhir tulisan ini, barangkali kesuksesan dari kawasan inovatif di beberapa negara tidak lepas dari kuatnya karakteristik dari produk atau jasa yang dihasilkan, mungkin hal ini dapat menjadi perhatian STP, dan yang terpenting adalah proses belajar dan dukungan dari setiap pemangku kepentingan, serta kesinambungan program. Karena bagaimanapun juga banyak program di negeri ini yang baik, tetapi karena kebijakan politik harus berhenti di tengah jalan. Solo Technopark bisa menjadi kebanggaan Indonesia, apabila semua pihak yang berkepentingan mau bersama-sama mencurahkan sumberdaya untuk mengaktifkan peran dan fungsi masing-masing. (Biskom, 30 Juni 2011/ humasristek)