Publikasi Esquire Indonesia, edisi Desember 2011 dan e
disi online 17 Januari 2012
Oleh: Prakoso Bhairawa Putera
Proposal untuk menguatkan tiang-tiang penopang dari bangunan bernama Indonesia.
Akhir-akhir ini mencuat berbagai wacana mengenai kesejahteraan peneliti dan keberlangsungan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia. Namun, yang perlu dipahami secara bersama bahwa iptek merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Korea Selatan, Taiwan, Singapura, China, dan India adalah contoh negara yang mampu memaksimalkan peran iptek dalam memperkuat daya saing bangsanya. Akan tetapi jika kita melihat kondisi di negeri ini, Indonesia belum secara maksimal memberdayakan iptek dalam pertumbuhan ekonomi untuk menghadirkan kemakmuran bangsa dan negara.
Bila kembali melihat iptek nasional dari Total Factor Productivity seperti dilansir Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2006 bahwa iptek sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional masihlah sangat rendah dan bahkan negatif selama Indonesia periode merdeka. Peran iptek di Indonesia relatif tinggi hanya pada periode 1991-1995 sebesar 4 persen. Di luar periode itu, sumber pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari sumbangan modal dan tenaga kerja.
Merujuk pada rasio anggaran belanja litbang terhadap Gross Domestic Product (GDP) di beberapa negara di tahun 2002, menunjukkan begitu jauhnya posisi Indonesia. Negara-negara maju mengalokasikan anggarannya untuk belanja litbang lebih besar (di atas 1 persen GDP). Bahkan Jepang, Finlandia, Swedia dan Israel menetapkan angka di atas 3 persen. Ini membuktikan kemajuan dan kemakmuran suatu negara tidaklah mungkin tanpa ditopang aktivitas litbang iptek. Posisi Indonesia hanya pada angka 0.08 persen dan hanya sejajar dengan negara seperti Sri Lanka, Peru dan Jamaika, serta sedikit lebih baik daripada Nikaragua dan Zambia. Sementara iptek di lingkungan Pemerintahan pada posisi 0.05 persen. Bandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand (0.24 persen) dan Malaysia (0.69 persen).
Kondisi pembiayaan iptek dan litbang di Tanah Air pun sejak 1969 belum berubah secara signifikan. Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI melansir data bahwa pada tahun-tahun itu pemerintah pernah mengalokasikan anggaran iptek sebesar 3,06 persen dari APBN yang tersebar di lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Namun, selama 39 tahun alokasi anggaran iptek dalam APBN cenderung menurun. Pascakrisis ekonomi, pada di tahun 1999, alokasi anggaran iptek terhadap APBN sebesar 0,3 persen, tahun 2005 hanya sebesar 0,35 persen, dan pada tahun 2009 menjadi 0,21 persen.
Adalah ironi yang besar ketika mendengar bahwa ada peneliti yang terpaksa harus hijrah ke negara tetangga karena minimnya kesejahteraan yang diperoleh dan kondisi laboratorium yang tidak mendukung risetnya di Indonesia sedangkan dengan kemampuan yang dimilikinya di negara tetangga justru mendapat apresiasi lebih, baik kesejahteraan maupun fasilitas lab.
Rendahnya apresiasi pemerintah terhadap peneliti (harian Kompas edisi 25 Oktober 2011 dengan gamblang mengilustrasikannya lewat judul Kesejahteraan Peneliti:
Gaji Profesor Riset Lebih Rendah dari Guru SD) tidak hanya pada tingkat kesejahteraan tetapi juga sarana penelitian, sehingga untuk tetap bertahan dalam risetnya, para peneliti mau tidak mau harus menjalin kerja sama dengan lembaga riset di dalam ataupun di luar negeri. Bahkan ada yang terpaksa “mengasong proyek” (meminjam istilah Jan Sopaheluwakan, Profesor Riset LIPI) yang terkadang tidak revelan dengan bidang dan keahliannya.
Meskipun demikian para peneliti Indonesia secara maksimal menghasilkan luaran riset yang bisa digunakan oleh masyarakat. Akan tetapi masalah kemudian muncul dengan sulitnya mendapatkan hak paten terhadap hasil temuan riset. Sebagai contoh, Bambang Subiyanto, seorang peneliti LIPI harus mengurus pengakuan terhadap temuan risetnya mengenai bambu komposit selama 11 tahun sejak 2000.
Nasib yang sama juga dialami Herliyani Suharta dari BPPT, dengan temuanya kompor tenaga surya pada 1998 baru mendapatkan paten setelah sepuluh tahun kemudian (2008). Setelah susah mengurus hak paten atas luaran risetnya, para peneliti tersebut tidak mendapat kejelasan tentang royalti atas penggunaan temuan tersebut.
Permasalah lain pun muncul dari berbagai daerah di Indonesia terkait dengan penelitian, hampir di seluruh wilayah Indonesia kurang memiliki SDM yang kompeten. Profesi peneliti di daerah kurang diminati, bahkan adanya persepsi yang keliru mengenai keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan di daerah yang diasumsikan sebagai tempat meletakkan aparatur yang kurang produktif. Hal ini terungkap dari hasil penelitian dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek di 2009-2011.
Sungguh ironis melihat kondisi peneliti dan penelitian di Indonesia. Begitu banyak tenaga manusia potensial di bidang riset dan besarnya kekayaan bumi pertiwi yang semuanya, jika didukung pemerintah, akan menjadi kekuatan dalam memaksimalkan pertumbuhan perekonomi Indonesia melalui kegiatan penelitian dan pengembangan.
Peningkatan pembangunan ekonomi menjadi mutlak dalam persaingan global dan kontribusi iptek menjadi penentu. Ada banyak studi menunjukkan eratnya hubungan tingkat kemajuan peradaban dan perekonomian suatu bangsa yang diukur dari tingkat penguasaan iptek oleh bangsa tersebut. Melalui aktivitas penelitian akan diperoleh temuan-temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan, yang selanjutnya dapat dikembangkan untuk menunjang proses transformasi teknologi, sosial, ekonomi, dan politik dalam kehidupan nyata menuju masyarakat yang berpengetahuan (knowledge society).
Berbagai indikator perkembangan iptek menunjukkan, Indonesia masih belum berhasil mendayagunakan iptek. Perekonomian Indonesia sangat didominasi sektor-sektor yang berkandungan teknologi rendah. Data Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI menunjukkan, 65,64 persen ekspor industri manufaktur Indonesia di 2010 berkandungan teknologi rendah. Bahkan World Competitiveness Report 2011 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia turun dari peringkat 35 (2010) menjadi 37 (2011).
Kondisi dan dinamika global saat ini sesungguhnya merupakan peluang sekaligus ancaman bagi keberadaan sumber daya alam yang berimplikasi pada tinggi atau rendahnya daya saing Indonesia. Daya saing tidak hanya ditentukan oleh kemampuan SDM Indonesia yang rendah. Jika dibiarkan, ini berpotensi dapat mengucilkan Indonesia dari dinamika dan persaingan dalam pergaulan dunia.
Bangsa ini pun bukan tanpa usaha untuk berdaya saing tinggi dengan iptek di dalamnya. Kegiatan riset telah dimulai sejak masa kolonial Belanda, bahkan kemajuan dalam teknologi proses pada industri gula dan rancang bangun perkeretaapian masa itu tergolong unggul. Ironisnya, Zuhal dalam bukunya Knowledge & Innovation (2010) melihat kejayaan masa lalu tersebut tak berbekas pada masa kini yang terjadi justru kemunduran terutama pasca krisis moneter di tahun 1997 lalu. Dalam kata lain, untuk mencapai tujuan nasional tersebut diperlukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh guna mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penguasaan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Langkah percepatanpun coba dilakukan pemerintah dengan merumuskan visi dan misi pembangunan iptek tahun 2025 yang meletakkan iptek sebagai kekuatan utama untuk peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan peradaban bangsa. Berbagai program iptek terus digiatkan, akan tetapi penegakan pilar iptek perlu menjadi perhatian dalam mencapaian cita-cita iptek tersebut.
Ada enam pilar iptek yang perlu dikokohkan bangsa ini, yaitu dengan fokus pada riset dan pengembangan terarah untuk kegiatan ekonomi dan iptek peningkatan daya saing. Tidak perlu jauh-jauh. Agenda Riset Nasional (ARN) dengan memuat tema-tema riset dan telah ditetapkan haruslah benar-benar menjadi acuan dalam melaksanakan riset dan pengembangan. Tujuh bidang fokus mulai dari ketahanan pangan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi dan manajemen transportasi, teknologi pertahanan dan keamanan, teknologi kesehatan dan obat, hingga bidang material maju untuk mendukung pengembangan teknologi di masing-masing bidang fokus.
Kedua, peningkatan jumlah kuantitas dan kualitas SDM penelitian dan pengembangan yang memadai, kualitas tidak hanya menyangkut keterampilan tetapi etos kerja. Demikian pula, pendidikan iptek secara resmi dan dalam keseharian perlu didorong terus dalam sistem pendidikan nasional. Data Indikator Iptek Indonesia 2009 (Pappiptek LIPI) menunjukkan, jumlah tenaga di lembaga litbang pemerintah masih didominasi oleh teknisi dan staf penunjang (60,24 persen) dibandingkan peneliti (39,76 persen). Ini mencerminkan masih minimnya jumlah peneliti dibandingkan teknisi dan staf. Idealnya sudah barang tentu jumlah peneliti harus lebih banyak dibandingkan teknisi dan staf.
Pilar ketiga adalah task approach dan priority approach, yaitu mengarah pada penciptaan iklim ilmu pengetahuan dan teknologi yang aplikatif sehingga mudah diterima dan memiliki manfaat bagi masyarakat. Sudah saatnya orientasi penelitian kini diarahkan pada kebutuhan masyarakat, sehingga hasil dari sebuah riset nantinya dapat memiliki nilai keberlanjutan dan implementatif. Sebagai contoh penggunaan teknologi tepat guna lebih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Riset berbasiskan kebutuhan cenderung lebih bermanfaat daripada riset yang hasilnya belum diperlukan masyarakat. Langkah semacam ini penting dalam rangka efisiensi penggunaan anggaran.
Keempat, peningkatan kualitas prasarana dan sarana penelitian, karena hal ini merupakan sarana identifikasi pengujian dan analisis dalam kegiatan penelitian yang dikelola sesuai standar dengan akreditasi.
Pilar kelima dan keenam, melalui penguatan sikap peneliti yang profesional, dan membangun partisipasi, kesadaran masyarakat—budaya iptek. Profesionalisme merupakan tuntutan yang selalu didengungkan di mana-mana, hal ini terkait dengan kemampuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Dengan demikian kompetensi yang dimiliki haruslah benar-benar unggul untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Di sisi lain membangun partisipasi, kesadaran masyarakat akan budaya iptek masih rendah. Banyak pakar meyakini bahwa informasi iptek yang ada saat ini masih dan hanya bisa dinikmati sekelompok komunitas ilmiah tertentu saja. Penyajian yang masih terikat dengan kaidah-kaidah ilmiah masih terlalu sulit untuk diterima oleh masyarkat Indonesia. Pembahasaan dengan sedikit lebih populer atau dengan semipopuler kemungkinan akan lebih mudah diterima masyarkat. Akhirnya, seperti sebuah bangunan, keenam pilar ini merupakan tiang-tiang penopang dari bangunan bernama Indonesia.