PRAKOSO BHAIRAWA PUTERA
Civitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Beberapa pekan terakhir, Kementerian Riset dan Tek nologi (KRT) giat-giat nya melaksanakan uji publik naskah akademik RUU Sistem Inovasi Nasional/Amandemen UU No18 Tahun 2002. Layaknya mekanisme uji publik, sejumlah daerah dan pemangku kepentingan terkait dengan iptek dan inovasi telah disambangi untuk mendapatkan masukan. Bahkan, naskah akademik tersebut di-publish di website ristek.go.id untuk mendapatkan pandangan dari masyarakat.
Namun menariknya, UU yang telah ada sejak 13 tahun lalu ternyata masih tidak dikenal oleh sebagian komunitas iptek. Bahkan, hasil penelitian dari Pappiptek LIPI 2009 dan 2011, terungkap mereka (komunitas iptek) di daerah tidak mengenal UU No 18/2002, demikian juga dosen dan peneliti di perguruan tinggi.
Wajar saja jika respons rencana perubahan UU yang menjadi payung penyelenggaraan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di republik ini tidak seheboh UU Pemda atau UU lainnya. Bagaimana tidak? Keberadaan UU itu pun tidak idol di kalangannya sendiri apalagi berharap dari luar kalangan itu.
Padahal, pada sejumlah kesempatan, ketika SBY bertemu masyarakat ilmiah pada 2010 dan perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 2012, selalu menekankan untuk menjadikan bangsa Indonesia menguasai iptek. Dengan tegas SBY menyampaikan, "Kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa. Kita harus bisa menjadi innovation nation-bangsa inovasi! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif."
Menyadari keinginan yang kuat dari SBY tersebut maka Menteri Riset dan Teknologi bersama-sama perangkatnya merespons dan memandang penting untuk melakukan perubahan terhadap UU Iptek sebagai landasan pijak. Terlepas dari quick response tersebut, jika dibaca secara seksama maka secara konten UU No 18/2002 memang sudah ketinggalan zaman. Di mana, UU tersebut disusun dalam nuansa iptek masih sangat do minan sifat supply-push sehingga kurang selaras dengan orientasi demand-driven yang menjadi roh dari sistem inovasi.
Walaupun disadari juga terminologi demand-driven sangatlah beragam, tetapi intinya adalah pengembangan iptek diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang tengah dihadapi. Ini tentunya selaras juga dengan semangat Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, memosisikan iptek untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Dari naskah akademis yang sedang dilakukan uji publik saat ini, ternyata titik tekan perubahan merujuk pada materi kebijakan penguatan inovasi yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu Perpres No 32/2011, Keputusan Menristek tentang arah penguatan sistem inovasi nasional, Bab IV Buku II RPJMN 2010- 2014. Kondisi tersebut mengindikasi bahwa perubahan UU No 18/2002 tidak lebih dari penyesuaian atas kebijakan yang ada, atau dalam kalimat naskah akademis tersebut "diarahkan untuk mengakomodasi upaya penguatan inovasi" yang notabene sudah terdapat pada tiga dokumen regulasi terdahulu.
Perubahan UU No 18/2002 fokus pa da empat hal, pertama, penguatan jaring an rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta.
Kedua, peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi-pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi. Ketiga, peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat. Dan keempat, ruang lingkup kegiatan inovasi adalah NKRI.
Secara khusus, isu penting dalam kegiatan litbang sudah coba diakomodasi, seperti dengan memasukkan pasal mengenai perjanjian pengalihan bahan (material transfer agreement atau MTA).
Keberadaan pasal ini penting meng ingat sejumlah kasus klaim atas sumber daya hayati, sampel, atau spesimen khas Indonesia oleh pihak asing. Pasal MTA mempertegas kembali Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture yang telah ada pada UU No 4/2006.
Namun, rencana perubahan tidak mencantumkan peneliti dan perekayasa sebagai bagian penting dari sumber daya.
Pasal 11 UU No 18/2002 sumber daya iptek disebutkan dengan tidak lugas, yaitu terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia, dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek. Padahal, pelaku aktivitas penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek terletak pada peneliti dan perekayasa.
Jika perubahan ini semangatnya untuk mengakomodasi upaya penguatan inovasi maka harus memperhatikan penguatan aliran pengetahuan dan mobilitas human capital (Bab IV Buku II RPJMN 2010-2014), meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan SDM (Jakstranas Iptek 2010-2014), dan sistem remunerasi peneliti (MP3EI). Kesemuanya merujuk pada sumber daya peneliti dan perekayasa.
Proses uji publik memang sedang berlangsung sampai KRT (sebagai pengusul)
mencapai bentuk ideal dari perubahan UU. Untuk pada tahap selanjutnya, tentulah dukungan dan energi positif dari seluruh komunitas iptek dan pemangku kepentingan lainnya sangat dibutuhkan.