JEJARING PARIWISATA: ADA DMO DI DALAM

Penggunaan teknologi informasi ternyata juga menciptakan peluang dalam penguatan jejaring pada sektor pariwisata. Egger (2008) mengemukakan, media internet adalah pusat informasi yang paling penting dalam perencanaan perjalanan wisata. Jaringan virtual ini menciptakan rantai nilai ekonomi yang terhubung antara satu kepentingan dan kepentingan lainnya dalam kerangka industri pariwisata.

Dukungan teknologi informasi selanjutnya terlihat dengan tersedianya e-tourism. E-tourism didefinisikan oleh Ndou dan Passiante (2005) sebagai batasan tentang sistem jaringan pariwisata yang terbuka dengan segala kemandirian terhadap keberagaman yang merujuk pada infrastruktur teknologi informasi dan terintegrasi dengan nilai-nilai.

Konsep ini selajutnya diperjelas oleh Putera dkk. (2008) bahwa e-tourism dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan daya guna dalam bidang pariwisata, memberikan berbagai jasa layanan pariwisata kepada customers dalam bentuk telematika dan menjadikan penyelenggaraan pemasaran pariwisata lebih mudah diakses.

E-tourism merupakan kesatuan sistem dari destination management systems (DMS). Sebagai satu sistem, DMS akan saling ketergantungan dengan komponen yang lain sehingga DMS merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pariwisata, bisnis, serta pemerintah.

Kelemahan

Egger (2008) memberikan empat kelemahan jejaring tujuan wisata selama ini, yaitu culture and leisure facilities, hoteliers, potential guests, dan pengelolaan pariwisata.

Ada beberapa situs pariwisata yang memang bisa dilacak dengan mesin pencari, tetapi ada juga yang tidak bisa dilacak. Hal ini disebabkan informasi mengenai pariwisata hanya tersimpan pada halaman-halaman situs yang tidak terintegral satu sama lain pada kawasan yang sama. Hal semacam ini menyebabkan pengunjung tidak mengetahui budaya dan keunggulan suatu tujuan wisata. Culture and leisure facilities biasanya dijadikan sebagai pilihan pengunjung untuk mendatangi suatu wilayah tujuan wisata. Informasi-informasi seperti ini kurang tersedia di dalam fasilitas e-tourism.

Pengunjung biasanya mendatangi suatu wilayah, lebih untuk menikmati daerah tujuan wisata. Namun, hotel hendaknya tetap menyediakan informasi tambahan untuk mendatangkan pengunjung tersebut menikmati akomodasi dari hotel. Seperti, layanan tur, fasilitas wisata tambahan, ataupun kenyaman seperti mandi uap dan spa. Fasiltas tersebut sering diabaikan oleh pengelola hotel, dengan hanya menampilkan video ataupun gambar dengan kualitas yang kurang baik. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap deskripsi tentang akomodasi yang akan diperoleh pengunjung, jika memilih hotel tersebut.

Saat ini banyak sekali tamu potensial yang kebingungan untuk merencanakan kunjungan wisata mereka. Keterbatasan informasi yang hanya diperoleh dari situs hotel, situasi informasi pariwisata membuat tamu-tamu potensial tersebut tidak bisa dengan jelas merencanakan dan menentukan pilihan.

Pengelolaan pariwisata biasanya tunduk pada batas-batas geografis dan politik. Akan tetapi, bagi pengunjung, mereka lebih memperhatikan pada topografi, budaya, bahasa, dan sebagainya sehingga perbedaan ini sering terjadi perdebatan pada pelaksanaannya. Keempat aspek ini menjadi hal-hal yang selama ini dirasakan bersinggungan dalam pelaksanaan kegiatan kepariwisataan di daerah.

Paradigma baru

Ada konsep baru yang mencoba memberikan jawaban terhadap permasalahan lemahnya sistem jejaring pariwisata. Konsep tersebut dinamakan Destination Management Organization (DMO). DMO adalah sistem pengelolaan pariwisata terpadu yang memiliki kelengkapan sebagai satu sistem.

Morrison, Bruen, dan Anderson (1998) memberikan lima fungsi dari DMO. Pertama, sebagai economic driver dalam menghasilkan pendapatan daerah, lapangan pekerjaan, dan penghasilan pajak yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Kedua, sebagai community marketer dalam visualisasi gambar tujuan wisata, kegiatan pariwisata sehingga menjadi pilihan pengunjung. Ketiga sebagai industry coordinator yang memiliki kejelasan terhadap fokus pertumbuhan industri yang mendatangkan hasil melalui pariwisata. Keempat, sebagai quasi-public representative, yaitu keterwakilan pendapat terhadap industri pariwisata yang dinikmati pengunjung ataupun grup pengunjung. Kelima, sebagai builder of community pride, peningkatan kualitas hidup.

Koordinasi pemangku kepentingan (coordination tourism stakeholders) merupakan inti dari sistem DMO. Komponen ini menjadi kunci sukses karena menitikberatkan pada hubungan jejaring yang membentuk sistem DMO.

Sebagai salah satu kompenen khas dari DMO, pengelolaan tamu (visitor management) menjadi penting dalam pasokan produk jasa terhadap pengunjung. Informasi/riset mendukung semua kegiatan dari DMO. Kegiatan ini menjadi bermanfaat karena memberikan gambaran secara komprehensif tentang selera pasar, pasokan industri pariwisata, dan kesenjangan yang perlu diatasi melalui perencanaan dan pembangunan. Informasi/riset diperlukan untuk mendukung keputusan dan tindakan yang dilakukan dari setiap kegiatan.

Perlu pula dilakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM), terdiri atas kegiatan untuk meningkatkan keterampilan SDM di bidang pariwisata, seperti pelatihan dan kerja praktik di beberapa pusat-pusat pelatihan dan industri pariwisata.

Tujuan pemasaran menjadi ujung tombak dalam komponen DMO. Keberhasilan DMO ditentukan bagaimana tujuan pemasaran dapat menarik sebanyak-banyaknya pengunjung untuk datang ke wilayah yang telah dipromosikan. Dengan kata lain, pengembangan DMO sebagai bentuk baru dalam pengelolaan pariwisata daerah menjadi penting bagi pemanfaat teknologi informasi dan komunikasi untuk pariwisata. ***

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera, Penulis, peneliti muda kebijakan dan perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Publikasi: Pikiran Rakyat, edisi 26 Juli 2010

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More