CERITA KOKO bagian I

K-O-K-O, Anak Melayu Pinggiran

KOKO adalah nama panggilan sejak kecil yang diberikan orang-orang terdekat, terutama keluarga, Mungkin, ada yang akan mengira bahwa ini bukanlah nama, melaikan sebutan atau panggilan. Yup, tak salah, koko bagi sebagian masyarakat Tionghoa di daerahku (Sungailiat) merupakan panggilan untuk seseorang yang usianya lebih tua atau dalam bahasa setempat sama dengan abang atau kakak dalam bahasa Indonesianya.

Koko dilahirkan dengan nama PRAKOSO BHAIRAWA PUTERA. Lahir di sebuah kota kecil, di pulau Belitung yang bernama Tanjung Pandan tertanggal 11 Mei 1984. Sedari kecil sudah terbiasa hidup berpindah-pindah, maklumlah mengikuti sang Ayah yang merupakan pegawai negeri sipil, atau lebih tepatnya guru. Masa kecil banyak dihabiskan di dua kota di pulau Bangka yang sekarang menjadi propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Tak banyak yang bisa diceritakan tentang masa-masa kecil di Tanjungpandan, selain menuliskan kembali apa yang dulu pernah diceritakan oleh kedua orang tua tentang kegilaan koko balita yang selalu senang jika dibawa Bapak berjalan-jalan sore menelusuri aspal disekitar rumah di Tanjungpandang. Tanjungpandan saat itu masih ramai dan hasil tambang timah menjadi komoditi yang begitu berharga di pulau ini. Sementara asyik menggendong koko balita, dibelakang bapak - setiap si bleki anjing penjaga yang menemani. 

Kata bapak, si bleki lah yang ribut-ribut saat koko jatuh dan terguling dari kereta bayi. Bleki menggonggong keras untuk memberi tahukan mamak (panggilan untuk ibu) yang sedang memasak di dapur pada suatu siang. Anjing penjaga itu selalu setia menjaga dan duduk dengan tenang  disebelah kereta bayi koko sembari memperhatikan setiap gerak-gerik koko balita. Namun sayangnya kebersamaan bersama bleki tidak bertahan lama, seiring dengan persiapan bapak untuk pindah tugas di Pangkapinang (Pulau Bangka) - si bleki pun mulai menghilang alias melarikan diri - menjauh dari keluarga. Kepergian bleki membuat bapak, aak Dini, abang Pran, dan aak Ria mencari kesana kemarin, tetapi hasilnya tetap nihil. Hingga, akhirnya hari kepindahan ke Pulau Bangka tiba. Sekeluarga pun menyeberangi Selat Gaspar (selat yang menghubungkan Pulau Belitung dengan Pulau Bangka) dengan Kapal Fery. Kepindahan itu dilepas oleh para tetangga, sanak handai taulan, serta murid-murid dan para guru di tempat bapak mengajar. Selang beberapa jauh kapal meninggalkan pelabuhan, menurut cerita bapak - si bleki nampak di pinggiran dermaga melihat kapal fery yang membawa sekeluarga pindah.

Di kota Pangkal pinang, koko kecil sempat menghabiskan masa kanak-kanak di Taman Kanak-kanak (TK) Adyaksa Pangkal pinang 1989-1990, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 52 Pangkalpinang. Sekolah ini jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumah. Namun, selama bersekolah di Pangkalpinang, koko kecil tidak berani tampil, menangis seakan menjadi tradisi setiap kali diminta membaca di depan kelas, atau pun sekadar memimpin doa. Koko kecil memiliki teman baik yang selalu memberikan semangat untuk tidak malu dan menangis, dia teman kecil Koko yang hingga kini masih tetap manis dan lucu, Rosa namanya. Sayangnya, kecerian di Pangkalpinang hanya bertahan sampai kelas tiga saja, karena dipenghujung akhir kenaikan kelas empat keluarga harus pindah ke kota Sungailiat.

Sungailiat,..yah,..kota kecil walaupun dia menjadi ibu kota dari kabupaten Bangka. Kondisi saat pertama masuk desa Air Ruai, dengan kelurahan Air Bakung - Lubuk Kelik, sangat-sangat jauh dari layak. Jalanan berlubang, aspal tak nampak, listrik hanya mengandalkan kebaikan toke listrik yang memberikan layanan penerangan dari pukul 18.00 hingga 24.00. Itupun membayar dengan cukup mahal dan terkadang mati-mati, maklum layanan listrik tersebut bersumber dari diesel yang mengandalkan bahan bakar solar. Bahan bakar jenis yang satu ini pun cukup sulit didapatkan.

Uniknya, meskin tinggal di daerah yang jauh dari hiruk pikuk kota - prestasi belajar justru lebih baik. Nilai-nilai terbakar yang identik dengan warna merah tak terlihat lagi di rapor. Bahkan angka-angka bagus mulai bertaburan,..hehehe,..hehee,.Alhasil juara kelas di kelas empat pun berhasil di raih. Mula-mula peringkat tiga di caturwulan pertama, lalu peringkat dua di cawu kedua, dan menjadi peringkat satu di akhir tahun ajaran. Rahasianya sederhana, karena tidak ada hiburan maka kerjaan hanya belajar, membaca buku di perpustakaan es de yang hanya berisi beberapa buku saja.

Oh ya, SD di tempat tinggal yang baru ini, merupakan SD terbaik dari segi bangunannya, maklum di kota Sungailiat hanya ada dua sekolah yang memiliki gedung berlantai dua,..hehehe,..dan sekolah yang menjadi pelabuhan koko sejak kepindahan adalah salah satunya. Sekolah ini bernama SD Inpres Negeri 434 Sungailiat. Jangan tanyakan berapa jumlah muridnya apalagi angkatan kelulusan dari sekolah ini. Satu kelas hanya berisi tidak lebih dari 25 murid saja, dan koko kecil menjadi angkatan kedua dari sekolah ini...

Selama di eS De 434 ada seorang guru yang hebat. Pak Sopiandi, ia biasa disapa. Olahraga dan Keterampilan Seni adalah mata pelajaran yang menjadi keahlian beliau. Sejak berkenalan dengan pak Sopiandi lah, koko kecil mulai tumbuh percaya diri. Ada banyak keterampilan yang beliau ajarkan, mulai dari membuat taplak meja dari sedotan minuman yang dirangkai dengan benang wol, hingga membuat hiasan dari akar pohon. Di bidang olahraga, beliaulah yang mengajarkan koko kecil cabang atletik, hingga pada akhirnya nanti koko mampu menjadi atlit di bidang ini. Tidak hanya itu, ia juga mampu meletakkan dasar keterampilan membaca puisi dan menulis sastra. Acara malam tujuh belas agustus di panggung desa adalah ajang pertama koko kecil tampil bersama teman-teman di bawah asuhan pak Sopiandi.

Najur dan Mengambil Kelapa Pak Nurdin
Najur atau yang sering disebut dengan teknik menangkap ikan dengan meninggalkan kail yang berisi umpan di sungai atau rawa-rawa untuk keesokan harinya baru dilihat hasilnya, merupakan bagian yang tidak bisa dilupakan dari masa kecil koko. Adalah Sobar, Hendri dan Angga yang menjadi teman bermain dan teman mencari ikan. Selepas pulang sekolah dan selesai mengerjakan tugas-tugas sekolah, koko kecil bersama teman-teman menuju aliran air yang waktu itu setinggi setengah lutut. Bagi anak-anak melayu pinngiran ini, aliran air yang berasal dari bukit Betung itu adalah sungai. Di sanalah mereka menangkap ikan-ikan kecil untuk kemudian menjadi umpan bagi ikan besar, seperti gabus, baung, lele, dan bahkan burung ayam-ayam pun sering tertipu dengan umpan ikan kecil yang dipasang kail.  

Dari keempat anak melayu pinggiran ini, Sobar dan Hendri adalah jagoan soal menangkap ikan dan memasang tajur hingga ke belukar rawa yang berlumpuh. Sedang Koko kecil dan Angga hanya ikut turun di sisi yang tidak terlalu dalam dan berlumpur. Seusai memasang tajur biasanya mandi di kolong merupakan pilihan utama. Kolong bukanlah bagian bawah jembatan seperti di kota Jakarta. Kolong bagi masyarakat Bangka Belitung berarti lubang yang berisi air dari hasil galian penambangan timah yang telah bertahun-tahun lamanya ditinggalkan.

2 komentar:

hoho, salam kek ayu kak..
lah lame dak sua begagit agik, semenjak sma duluk.
:)

iya,..insya allah kk sampaikan salam kek ayu,..oke

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More