Mempercantik Halaman Depan Indonesia

Membaca sebuah harian lokal di Bandung, baru-baru ini mengangkat tulisan "Bukan Pulau Terluar, Tetapi Halaman Depan" semakin menegaskan adanya cara pandang yang keliru selama ini dalam melihat keberadaan pulau-pulau terluar yang tersebar di sekeliling perairan batas laut Indonesia. Bahkan, saya sepakat dengan Aat Suratin bahwa dalam nomenklatur pemerintah pun, pulau-pulau di garis depan Nusantara ditulis sebagai 'pulau-pulau kecil terluar'.

Istilah semacam ini justru membuat citra yang tidak menguntungkan bagi pulau-pulau tersebut, terlebih bagi para penduduknya yang notabene masih saudara sebangsa dan se-Tanah Air (Indonesia). Seharusnya dan tidak ada pilihan lain untuk mulai mengubah cara pandang dan cara pikir bahwa pulau terluar adalah pekarangan depan rumah kita.

Layaknya halaman depan rumah, maka kita tentulah sebagai pemilik berusaha untuk mempercantik pekarangan dengan taman, memberikan ornamen-ornamen yang mencirikan penghuninya, dan tentulah kita akan mengusahakan agar pekarangan depan tetap terjaga dan dipelihara sepanjang waktu. Jika pulau-pulau terluar yang selama ini terasingkan dari penghuninya (Indonesia), wajar jika penduduk lokal pulau mencari kenyamanan kepada tetangga.

Harmen Batubara (2006) mengungkapkan isu yang acapkali muncul dari pulau-pulau terluar, yaitu keterbatasan sarana prasarana dan rendahnya akses untuk memperoleh hak layaknya penduduk lain di pulau-pulau besar, seperti Jawa atau pun Sumatera. Dengan terbatasnya akses transportasi, sanitasi yang layak, penerangan dan informasi komunikasi, menjadikan masyarakat harus rela hidup dengan kondisi keterbatasan, termasuk juga dalam tingkat kesejahteraan hidup.

Akibatnya, agar tetap dapat bertahan hidup, maka ramai-ramai menyeberang ke negara tetangga menjadi pilihan. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau, suka tidak suka, ada rasa ketergantungan yang besar terhadap tetangga. Menyeberang ke negara tetangga pun terus-menerus berlangsung sehingga saudara-saudara kita lebih mengenal lagu kebangsaan negara tetangga ketimbang lagu Indonesia Raya. Mereka pun tidak sadar jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden mereka.

Kondisi semacam ini memang butuh penyadaran secara bersama. Artinya, tidak hanya menyadari akan keberadaan pulau-pulau terluar menjadi sangat penting sebagai tapal batas wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Lebih dari itu adalah penyadaran pada tiap diri elemen bangsa bahwa ada penafsiran yang keliru dalam melihat problematik pulau-pulau terluar, dan itu dimulai dari cara pandang.

Reorientasi menjadikan pulau terluar sebagai 'halaman depan' adalah pilihan tepat dan harus segera menjadi 'senjata' dalam menggerakkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki bangsa ini. Pemerintah pun perlu mulai aktif mempercantik pekarangan depan 'rumah' kita sendiri.

Menempatkan sarana dan prasarana dasar seperti sanitasi, listrik, transporasi, dan distribusi kebutuhan pokok menjadi prioritas utama. Hal inilah yang selama bertahun-tahun berganti generasi, diperoleh saudara-saudara kita di pulau terluar dari para tetangga yang tentu sangat senang menerima kedatangan saudara kita.

Keberpihakan terhadap nasib saudara di 'halaman depan' bukan sekadar jargon politik penarik suara ketika pemilihan umum, tetapi merupakan kewajiban untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang semakin hari rawan ancaman 'pencaplokan' oleh negara tetangga.

Setelah pemenuhan hak-hak dasar terselenggarakan, mulai merawat pekarangan dengan mainstreaming pembangunan yang berpegang pada dual economics, nilai-nilai demokrasi lokal, dan revitalisasi dan rekonstruksi kelembagaan. (Muhamad Karim, 2009) Dual economics dipadang sebagai sebuah pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kelautan/perikanan tetapi juga memperhatikan potensi agraris juga.

Teori ini dipopulerkan oleh Boeke dan Ferroux yang menegaskan adanya penyertaan kegiatan pertanian dalam pengembangan wilayah berbasis kelautan/perikanan. Masyarakat Pulau Enggano telah mengenal tradisi ini, yaitu dengan menjadi nelayan dan mengelola perkebunan lada. Praktik khas tersebut sebenarnya telah sejak lama berada dalam masyarakat lokal yang dikenal dengan kearifan lokal.

Berpijak pada pengetahuan masyarakat setempat dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya yang dimiliki, dalam pembangunan nilai-nilai demokrasi lokal harus juga mengacu pada pendekatan tersebut. Dekontruksi dan rekontruksi nilai-nilai tradisional dan budaya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya nilai keterbukaan (outword looking), egalitarian, kejujuran dan keberanian menjadi modal sosial dalam pengembangan pembangunan di 'pekarangan' rumah.

Penegakan rasa persamaan hak sebagai bagian dari bangsa dan keadilan sebagai penduduk di wilayah negara Republik Indonesia, serta pemenuhan rasa dan hak menjadi penting. Semua itu untuk penyadaran dan sikap bagian dalam diri saudara-saudara kita di 'halaman depan' sebagai jiwa 'Merah Putih'. Tak ada anak tiri atau terbelakang dalam pengembangan dan pembangunan di NKRI ini, jika komitmen dan cara pandang menjadi acuan yang benar dan tidak atas kepentingan sekelompok saja. Penghormatan dan perlindungan terhadap hak dasar dan hak masyarakat lokal dari intervensi pemilik modal, menjadi perhatian serius dalam mempercantik pekarangan depan. ***

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera, Penulis adalah Peneliti Muda bidang Kebijakan dan Administrasi LIPI, peserta Program Beasiswa Pascasarjana Ristek 2010.

Tulisan ini telah dipublikasi di Suara Karya, edisi Jumat - 7 Januari 2011

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More