Neraca Perdagangan Teknologi Indonesia

Dari hasil penelitian terlihat bahwa rendahnya kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) pada sektor industri diduga sebagai salah satu penyebab mengapa industri di Indonesia tertinggal dengan negara lain. Sebagai contoh, pelaku industri berintensitas teknologi tinggi seperti farmasi, maksimal hanya mampu mengeluarkan dana litbang kurang dari dua persen dari nilai penjualannya (Saputra, etal, 2008). Lebih jauh lagi gambaran rendahnya kegiatan litbang di sektor industri terlihat dari masih sedikitnya industri yang melakukan kegiatan litbang. Keadaan tersebut tercermin dari hasil survei yang dilakukan PAPPIPTEK-LIPI yang memperlihatkan bahwa 3,26% dari sampel 9.138 perusahaan industri manufaktur atau kurang lebih 250 perusahaan yang melakukan kegiatan litbang (Indikator Iptek 2007).

sumber: Biskom, edisi Januari 2011
Kemampuan inovasi yang dimiliki industri sangat ditentukan oleh aktivitas pengelolaan teknologi yang tercermin dari kapasitas industri melakukan riset secara mandiri. Namun dengan keterbatasan kapasitas sumber daya, hampir semua pelaku industri di dunia melakukan kegiatan alih teknologi dari pihak luar, baik dalam bentuk lisensi ataupun kerja sama riset. Implikasi dari praktik-praktik tersebut akan terlihat dari kecenderungan industri di suatu negara untuk lebih banyak membeli teknologi ataupun lebih banyak menjual teknologi dari negara lain. Aktivitas membeli atau menjual teknologi dapat menunjukkan posisi industri suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya sebagai net exporter ataupun net importer teknologi dalam posisi perdagangan internasional. Keadaan tersebut tercermin dalam neraca pembayaran teknologi negara tersebut (Technology Balance of Payment) (OECD, 1999).

Technology Balance of Payment (TBP), selain dijadikan indikasi posisi perdagangan teknologi antar negara, juga dapat dijadikan salah satu indikator yang menunjukkan posisi daya saing atau kemampuan teknologi suatu negara relatif dibandingkan dengan negara lain. Dengan asumsi bahwa jual beli teknologi menyatu (embodied) dalam produk yang diperdagangkan. Beberapa negara telah menyusun TBP sebagai bagian dari indikator ilmu pengetahuan dan teknologi negara mereka.

Berdasarkan data OECD (2008), negara maju seperti Amerika Serikat merupakan net technology exporter untuk teknologi selama hampir dua dekade terakhir. Setelah itu menyusul negara-negara Eropa seperti Swedia, Belanda, dan Belgia yang merupakan negara net technology eksporter selama satu dasawarsa terakhir. Lebih jauh, TBP Amerika dan Eropa memiliki saldo surplus rata-rata 2% dari GDP dengan mayoritas didukung oleh daya saing teknologi industri dengan intensitas teknologi tinggi seperti industri farmasi, otomotif, dan semikonduktor (Sao Paolo, 2005). Di lain pihak pada tataran negara berkembang, hanya beberapa negara saja yang telah mengembangkan indikator TBP-nya. Brazil adalah salah satu negara berkembang yang memiliki saldo TBP negatif baik pada industri berintensitas teknologi rendah, sedang maupun tinggi.

Apa itu TBP?

Pada umumnya, difusi teknologi dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama melalui peralatan dan produk (capital-embodied technology), kedua melalui orang (human-embodied technology), dan ketiga melalui dokumen tertulis atau audiovisual atau media lainnya (disembodied technology). Teknologi yang melekat pada modal (capital-embodied technology) ditransmisikan melalui penjualan mesin dan peralatan, teknologi yang melekat pada orang (human-embodied technology) tersirkulasi melalui program pelatihan, seminar, konggres dan kontak personal, kerja sama teknis dan bantuan teknis antarperusahaan. Sedangkan teknologi sebagai informasi dalam bentuk dokumen tersirkulasi melalui studi rekayasa, jasa konsultasi, dan perjanjian paten.

Neraca pembayaran teknologi (Technology Balance of Payment) mengukur alih teknologi internasional (antarnegara) yang meliputi: lisensi, paten, know-how dan riset, serta bantuan teknis. Tidak seperti pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan untuk teknologi yang siap produksi. Pada umumnya, transaksi terjadi pada cabang-cabang perusahaan multinasional yang berada di berbagai negara (between host country), atau antara perusahaan induk di negara pusat (home country) dengan anak perusahaan di negara lain (host country) (OECD, 1990).

Terdapat konsensus di antara para pakar bahwa semakin besar proporsi barang padat teknologi di dalam aliran perdagangan pada suatu negara merupakan indikator dari tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan teknologi dan daya saing industrinya. Hal ini akan mengarah pada partisipasi yang lebih dinamis dan aktif di pasar internasional. Neraca pembayaran teknologi akan menyitemkan dan menyistemkan perdagangan barang dan jasa dengan kandungan teknologi antara dua struktur ekonomi (biasanya negara), tetapi dapat juga wilayah atau subwilayah di dalam suatu negara (Sao Paulo, 2005).

Transaksi aliran teknologi antarnegara untuk teknologi yang melekat pada produk (embodied technology) dapat dikaji dengan menggunakan proksi aliran perdagangan internasional, sedangkan disembodied technology (teknologi yang secara ekslusif terpisah dari produk) dan aliran migrasi personal dapat didekati dengan penerimaan dan pembayaran royalti atau konsultansi jasa teknologi.

Mengacu pada metodologi yang dikembangkan OECD (1990), perdagangan teknologi dibedakan atas dua hal yaitu (1) perdagangan dalam produk manufaktur; dan (2) perdagangan dalam jasa. Teknologi yang diterima dan dibayarkan dari proses jual beli produk manufaktur dan jasa merupakan bentuk utama dari kepemilikan teknologi. Dalam hal ini teknologi yang melekat pada produk yang diperdagangkan tersebut dibagi atas empat kategori yaitu: (1) produk yang dihasilkan dari pengalihan secara teknik (transfer of techniques) seperti paten dan lisensi; (2) produk yang dihasilkan dari pengalihan rancangan (transfer of designs) seperti merek dagang, pola perdagangan, lisensi, dan franchise; (3) jasa pengantaran (delivery of services) menggunakan teknik tertentu dan knowledge perekayasaan; (4) litbang industri. Dari ulasan di atas dapat diketahui bahwa TBP mengukur pengalihan (transfer) teknologi internasional melalui empat kategori dari perdagangan teknologi.

TBP Indonesia

Berdasarkan hasil kajian Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI di tahun 2009, diketahui posisi neraca perdagangan teknologi di Indonesia dalam kurun 1999–2007, secara keseluruhan Indonesia memiliki posisi neraca perdagangan teknologi yang cenderung fluktuatif. Neraca perdagangan produk teknologi Indonesia merupakan penyumbang surplus di kancah perdagangan teknologi internasional (hingga awal tahun 2008), sebaliknya, neraca perdagangan jasa selalu menjadi penyumbang defisit di kancah perdagangan teknologi Indonesia.

Pada tataran neraca perdagangan barang di empat kategori kandungan teknologi, Indonesia menunjukkan perkembangan surplus yang stagnan terhadap beberapa negara (dengan angka surplus rata-rata di atas Juta US$ 7 milyar. Namun demikian, pada tahun 2008, posisi tersebut mengalami penurunan yang tajam bahkan cenderung mengalami defisit di angka US$ 5 miliar.

Penurunan yang tajam tersebut, terutama disumbang oleh defisitnya neraca perdagangan teknologi dengan negara Singapura dan Jepang. Meski kondisi defisit tersebut relatif tinggi, namun neraca perdagangan menurut intensitas teknologi rendah Indonesia masih mengalami surplus terhadap semua Negara tersebut kecuali Thailand, sedangkan pada neraca perdagangan jasa teknologi, Indonesia tampak terus mengalami defisit terutama dalam kurun 2004–2008.

Hal ini ditandai dengan saldo neraca yang mencapai minus yang terus bertambah hingga mencapai hampir US$ 2 milyar pada akhir tahun 2008. Defisit neraca jasa disumbang oleh defisitnya tiga transaksi jasa utama yakni jasa konstruksi, jasa komputer, serta royalti dan imbalan lisensi.

Lebih jauh, kondisi perdagangan teknologi di Indonesia merupakan net exsporter untuk barang dengan kategori teknologi tinggi (hi- tech) dan teknologi rendah (low-tech). Sebaliknya, pada produk barang kategori teknologi menengah-tinggi (med-hi tech) dan menengah-rendah (med-low tech) Indonesia memiliki posisi sebagai net importer.

Walaupun demikian, meski dalam perdagangan posisi Indonesia sebagai net exsporter pada produk hi-tech, namun pada kenyataannya Indonesia tidak memiliki kapasitas sebagai pemilik teknologi dalam industri produk ini. Tingginya ekspor produk kategori ini ternyata hanya mayoritas terdiri atas produk rakitan dengan bahan baku impor berteknologi tinggi.

Selain itu, investasi dari industri tersebut kebanyakan dikuasai oleh PMA membuat kemungkinan pembelajaran teknologi sangat sulit karena kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) pada umumnya dilakukan di perusahaan induk di luar negeri, sedangkan untuk barang kategori teknologi rendah meskipun Indonesia merupakan net exsporter perlu diperhatikan bahwa produk yang masuk kategori ini merupakan produk dari industri nonprioritas dunia (antara lain industri garmen), dan masih banyak dari produk tersebut yang kualitasnya kurang optimal. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih lemah dalam pengembangan teknologi di keempat ketegori produk industri tersebut, meski memiliki potensi besar di produk low-tech.

Penulis: Prakoso Bhairawa Putera

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More