CERPEN: Dan Kau Telah Temukan

Cerpen ini telah dipublikasi di halaman budaya BANGKA POS, edisi Minggu 28 Juni 2009


Apakah kicau burung-burung di kala pagi lebih baik dari pada teriakan mesin-mesin tambang di sisi utara perkampungan. Aku satu dari sekian banyak manusia yang kerap menemukan suara-suara tak jelas ketukan atau syair-syair tanpa pencipta yang didendangkan oleh penghuni di sisi lain pulau itu.

”Yah, beginilah pulauku. Sebuah daratan yang terbentuk dari gumpalan-gumpalan pasir hitam yang kemudian kukenal dengan sebutan timah--begitupun pasir putih yang begitu mempesona, hingga bisa menambah daratan di negeri singa yang mampu menukar butihan pasir dengan wewangian lembaran bernilai.”

”Usss.....ssss, jangan keras-keras berkata nanti terdengar angin--lalu disampaikanya pada penghuni lain!” suara lirih menggoda.

”Lalu salah jika mocong ini berbunyi dan mengeluarkan rangkaian kata yang sedikit pedas?”

”Kurasa tak terlalu, mungkin lebih pedas cabe yang tergigit tadi—karena cepat terasa dan langsung membutuhkan gula atau air sebagai penawar.” bisik mulai menggerogoti ruang di telinga kiri.

”Ah...., sudah jangan kau panasi suasana yang sudah semakin akut. Kepadatan penghuni jalanan cukup membuat orang-orang merasa lelah termasuk dia, jadi bila kau tambahkan dengan bumbu tadi maka habislah cerita kita—karena ia akan pergi ke negeri dongeng dan bercumbu dengan kekasihnya.” lirih suara menggoda.

”Ehm...aku tak mau ke negeri dongeng—karena semua disana hanya khayal dan ketika tersadar semua yang kutinggalkan semakin bertambah, jadi lebih baik aku ikut melewati semuanya dengan mata terbuka tetapi mulut tak menganga.”

Helai kain yang menutup diri lepas satu persatu dan jatuh di lantai yang mulai berganti warna bersama potong bulan yang semakin meninggi.

”Zzzzzzzzzzzzzzz”

”Hei, kenapa kau terdiam?” bisikan pindah di telinga sebelah kanan.

”Aku terjebak dalam keliaran malam yang menjemput, bulan diatas sana mungkin tersenyum padaku, kutemukan kau dalam rinai air mata yang jatuh dipundak dan ingin kuhantarkan hangat pada jiwa yang hampa.”

”Sebenarnya menatapmu dalam mimpipun aku menjadi lelah, mata terlalu cepat jatuh dan kehilangan selera. Ups..ada yang bertanya pada bisik di gelap hari—aku ada dimana ketika rasa mulai tertambat?”

”Sudahlah jangan kau cemarin otakmu yang mulai kelebihan beban itu dengan hal-hal yang memuakan. Mari tidur dan nikmati keindahan alam barzah,..” kembali, lagi dan lagi bisikan itu hadir di sisi kiri telinga.

Mata menatap tajam di sisi selatan ruang, di atas meja tergeletak sebuah majalah dengan terselip coretan merah melingkar. Halaman majalah itu tampak masih mulus, dan aroma khas kertas cetak begitu menyengat ketika hidung didekatkan.

Dahulu ramai kapal-kapal berlayar dan melewati perairan celah diantara dua pulau, Belitung dan Bangka. Namun, tak sedikit diantaranya celaka di Selat Gaspar itu. Kini, jalur laut berbentuk corong, dimana air yang berwarna biru kehijauan menyimpan sekawanan batu dan gosong karang kembali ramai, lantaran penyelam pengumpul teripang menemukan balok koral yang penuh dengan keramik peninggalan Dinasti Tang.

”Ayolah jangan kau buat lagi otakmu berputar, letakkan majalah itu” sisi kanan coba membujuk.

”Bersegeralah tidur, agar besok kau hirup udara pagi bersama suara jagomu”

”Kenapa kau begitu menikmati dongeng tentang kapal karam yang membawa sekitar 55.000 mangkuk yang dibuat ditempat-tempat pembakaran propinsi Hunan, puluhan mil dari tempatmu tinggal.” nada meninggi mulai berkeliaran di sisi kiri.

Aku tak sedang menikmati dongeng, tak salah bila kutahu tentang pulauku lebih banyak – walau aku tak sepulau.

”Ini dongeng kawan, hanya kebetulan belaka yang dihadirkan oleh alam dan para penyelam yang kata majalahmu itu telah menemukan situs arkeologi laut terpenting di Asia Tenggara.” kanan dan kiri terasa berisik dengan lontaran kata.

Ketidak setujuan bukan sebuah pilihan atas penemuan kapal layar tradisional Arab bertiang dua ”dhow” dari abad kesembilan yang bermuatan penuh kerajinan emas, perak dan keramik dari tanah Tiongkok. Ini benar, dan majalah telah dengan gamblangnya memuat tiap foto dan esai secara lengkap.

”Ah,..itu bisa-bisa penulisnya,...”

”Sudahlah hidupmu terlalu banyak dongeng,...” kiri dekat menggoda dengan ejekan tak mengenakan.

Ada sebuah pelayaran terbesar yang pernah hadir di sekitar pulau.

”Mulai lagi kau berdongeng kawan,..”

Tat kala laksamana besar Cheng Ho berlayar di 1405, tidak kurang 317 armada mengiringi beliau. Tiongkok menjadi tak terkalahkan di wilayah laut. Kemegahan ini pun menjadi bagian terpenting dalam perjalanan para saudagar Tiongkok yang ikut mendikte perniagaan di penjuru dunia. Ironisnya di dalam negeri sendiripun mereka ikut didikte oleh kebudayaan dan nilai-nilai asing. Setidaknya Confucius telah mencatat bagian itu.

”Kawan apalagi ceritamu di malam yang mulai merayap hingga menaikan selera tidur dan kemudian menghempaskannya hingga matapun terbelalak.” sepertinya sisi kanan mulai menyerah.

878 Masehi, setengah abad lebih sedikit setelah kapal ”dhow” karam. Pemimpin pemberontakan Huang Chao membakar dan menjarah Guangzhou, membunuh puluhan ribu warga muslim, yahudi, kriten dan parsi. Tak lama setelah berakhirnya perjalanan Cheng Ho, ketika Columbus mendarat di Dunia Baru. Pemikiran-pemikiran Confucius mulai terbukti; Tiongkok membakar armada kapalnya dan mulai menutup diri. Jalur-jalur perdagangan diabaikan hingga bangsa Portugis mulai mengambil alih.

”Kawan terbayang, tentang ramainya balok putih timah dan berton-ton muatan kapal membawa lada keluar dari pulau dan menjajah ditiap-tiap rumah tuan-tuan Eropa. Sedang kita menjadi terjajah oleh mereka.” si kiri menjadi tertegum dan berasumsi.

”Lalu kini apa yang kita nikmati” sisi kanan bertanya.

Sekarang ramai sudah dendang tanpa partitur dilantunkan ditiap terang hari dari penjuru pulau, meninggalkan dulang dikala musim nganggung, dan menyemarakan kotak-kotak putih di langgar dan masjid. Menjejalkan bangunan tinggi atas nama pembangunan dan menghilangkan ruang terbuka hijau. Menjajah laut perairan dengan jala-jala asing. Kesemuanya bukan milik kita – bukan gawe kite. Tidak di daratan, tidak juga di lautan, negeriku menjadi incaran banyak orang.

Sekarang subuh telah memanggil, mata mulai merapat,..

”Yah,..dan Kau Telah Temukan,..” kiri dan kanan bersorak.

”Kau Telah Temukan,..insomnia”,..***

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More