Takkan Pergi Rasa

mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 13 Januari 2008


BUTIR cahaya lembayung senja itu sedikit terhalang awan yang menggumpal di horison ufuk barat. Meski demikian, keelokan panorama senja itu tak sedikit pun berkurang. Garis laut yang bertemu dengan kaki langit menyemburatkan aura biru, berpadu dengan sisa-sisa sinar surya yang hendak kembali ke peraduannya.

”Inilah Ramadhan pertama di tanah Minang!” gumam hati kecilku.

Setelah penat dengan kebisingan kota yang akan beranjak megapolitan dan dendang pengamen kecil di pelataran Benteng, kutinggalkan riak Musi – Palembang – dan cerita kemarin demi tugas baru tapi selalu saja ada cerita yang tak mampu lepas.

Tak jauh dari ''pertemuan'' panorama indah laut dan langit itu, tampak burung-burung camar melayang-layang di atas riak ombak yang menggaris berbusa. Sesekali burung lincah itu menceburkan diri ke permukaan air untuk sekadar membasahi badan atau membasahi tenggorokannya yang kering setelah berkelana sepanjang hari.

”Barangkali mereka ikut puasa juga, ha...ha...” pikir anehku kambuh lagi.

Disebuah semen pembatas bibir pantai aku terdiam sendiri dan asyik bercanda dengan diri. Sendiri mungkin itulah yang acap kali membuatku bosan dan berpikir untuk mencari atau sekadar ditemani seseorang.

”Tapi apa aku mampu?” kali ini batinku bertanya.

”Mampu?”

”Yah, mungkin itulah hal yang paling malas untuk kutemukan jawabanya. Cerita bersamanya dulu terlalu indah untuk di delete dari sisa memori otak ini. Lebih baik kuhapus file yang lain saja.”

”Uh...ss.....!” nafasku mulai terbiasa dengan aroma pasir dan air laut rupanya. Aku kembali terdiam bersama kornea yang mulai betah dengan pemandangan baru di kota ini.

Tak jauh dariku, di dekat garis pantai beberapa pasang orang tua sambil menggandeng anak-anaknya menelisik pasir, bercanda diantara buih ombak yang pecah di kaki mereka.

”Yah, sepertinya sore kemarin mereka memang sedang menikmati keindahan alam sembari menunggu datangnya waktu berbuka.”

''Waktu terasa lewat begitu cepat berlalu.” tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Tanpa permisi ia asyik meletakkan cangkir minuman diatas sebuah meja. ”Sepertinya tidak keberadatan jika saya berbagi minuman dan sekedar makanan ringan untuk berbuka kali ini?” lanjut sosok itu.

”Saya begitu menikmati setiap datang dan mengunjungi sore di tempat ini bersama tiupan angin dan gemercik ombak yang jatuh diantara pasir-pasir.” katanya lanjut. Aku hanya terdiam dan masih merasa seperti orang bodoh. Ia berbicara tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk menyela atau sekedar memotong.

”Sepertinya kau orang baru, karena tidak lebih dari tiga atau empat kali kau datang mengunjungi tempat ini. Itupun seingatku?”

”Yah, maklum mungkin saya sudah terbiasa sendiri menyaksikan matahari turun dan akhir-akhir ini ada orang baru yang ikut kebiasaan itu – ditambah ia duduk ditempat menjadi favorite dimana saya acap kali menghabiskan sore ditempat itu.” cerocotnya kemudian.

”Ha..???” sontak aku kaget, ”Waduh, sampai segitunya ada orang yang begitu fanatik dengan tempat.” pikirku.

”Saya bukan fanatik, tapi ini berkaitan dengan kenyamanan dan kenikmatan hidup.” ucap ia kemudian.

”Lho, kok ia bisa tau apa yang kupikirkan?” aku mulai bertanya-tanya dan sedikit keheranan.

”Kenapa kau masih bingung, saya bisa tau apa yang kau pikirkan., He,..” dengan senyum sedikit mengejek ia menatapku. Ekor matanya tampak menusuk.

”Teman-teman biasa menyapa dengan sebutan Aya, lumayan pendek tapi jangan samakan dengan tinggi saya yang tak lebih tinggi dengan Dian Sastro...”

”Ih,..pede dan super narsis juga orang ini.” pikirku.

”Oh,...maaf kalo aku telah menjajah tempatmu, baiklah kalo begitu aku cari tempat lain.” akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari bibirku.

”Upzzz...maaf saya tidak akan membiarkan orang seperti anda pergi begitu saja!” balas ia dengan nada meninggi. ”Ya Allah, habis deh. Mana ini lagi puasa, gak mungkin mesti berantem dengan cewek, mana lagi rame – jangan-jangan nanti disangka akan kena pasal pelecehan lagi.” otakku mulai menerka-nerka.

”Nah, begitukan bagus. Duduk yang tenang dan temenin saya hingga berbuka. Nih kebetulan ada paket murah buat berdua yang saya beli di mal depan.”

”Ampun, mimpi apa semalam – koko bisanya sore ini ketemu dengan cewek aneh, jangan-jangan...” hati kecilku kembali berbicara, sedang cewek itu hanya senyum-senyum tanda kemenangan.

”Waktu terasa lewat begitu cepat berlalu.” ia kembali mengulang kalimat yang tadi kudengar. ”Dulu sore adalah saat yang paling saya benci dan selalu dihindari, tapi itu tak mungkin. Selama matahari masih berputar dan sang Maha masih meniupkan kehidupan ia akan selalu datang.”

”Aduh, bicara apa lagi cewek ini” aku hanya bisa berdialog dengan hati, nanti juga ia tahu dan bisa membaca apa yang aku pikirkan.

”Sampai pada suatu ketika, saya mengenal Aan. Yah,..mungkin ialah yang kemudian membuat diri betah berlama-lama menikmati sore disini. Sejak saat itu, menjelang sore saya selalu menyaksikan ombak dan pemandangan yang katanya adalah sebagian dari surga dunia bagi penglihatannya. Walau saat itu diri belum mengerti dan tak pernah bisa merasakan apa yang selalu ia katakan.”

Sementara itu sayup-sayup suara alunan ayat mulai memuai, seperti tinggal menunggu lima atau enam menit lagi, puasa hari ini akan selesai. ”Lalu kenapa kau tak bersama dia datang menikmati sore?” tanyaku polos.

Ia hanya membalas dengan senyum lalu berkata, ”Jika aku bersamanya mungkin aku yang tak bisa menikmati sore yang katanya begitu menakjubkan sampai-sampai ia begitu mencintai kota ini”

Aku masih belum mengerti apa yang ia katakan, mungkin daya tangkapku mulai berkurang atau aku terlalu tak mau ambil pusing dengan setiap kalimat yang ia lontarkan. ”Payah,..kok bisa-bisanya aku menjadi lemot begini yah!”

”Ah,..sudah jangan terlalu kau pikirkan!”

”Bila aku ceritakan mungkin kau tak juga akan paham atau mengerti.” lanjut Aya santai. Sesaat kemudian aku coba perhatikan sosok yang duduk disebelahku.

”Astagfirullah,...sepertinya aku begitu akrab dengan apa yang kulihat...”

”Ngak,..ngak mungkin, ini ngak mungkin terjadi,..” hatiku mulai berdegup kencang.

Aya kemudian berdiri dan membalikkan tubuh mengambil cup teh Poci, dengan tenang ia menyeruput dinginnya teh. Aku bengong, dan tak dapat berkata. ”Hei,..sudah azan, kau tak mau berbuka?” tanyanya lanjut.

”Ya Allah, suara azan pun luput dari sadarku,...”

”Oh yah, mungkin kita berdua punya satu tujuan yang sama kenapa datang ke tempat ini,...” lalu ia mendekat ”Mungkin takkan pergi rasa” lagi-lagi aku terdiam, bicaranya tambah membuatku bingung, kemudianku berdiri dan mulai menyaksikan orang-orang yang mulai meninggalkan bibir pantai menuju rumah suci Mu.. ”Uh...ss.....!” tarikan nafasku sedikit berat magrib ini.***

22 Ramadhan 1428 H

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More