TERIMA KASIH IBU

Publikasi di Suara Pembaruan, edisi 30 Desember 2007

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera
Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya, Staf Peneliti FISIP Universitas Sriwijaya, Palembang

Tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Ibu, sudah lewat, tetapi tentu saja tidak berarti hal yang berkaitan dengan ibu sudah dilewatkan begitu saja. Bahkan seperti kasih ibu yang berlangsung sepanjang masa, demikian pula hendaknya kita memberi perhatian pada ibu sepanjang waktu.

Berbicara mengenai Ibu, kita akan dihadapkan pada sosok perempuan atau wanita. Sejarah telah mencatat begitu banyak kaum perempuan mengambil andil dalam setiap jejak langkah perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari perlawanan menghadapi penjajah Belanda yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan kawan-kawan sampai dengan perlawanan diplomatik oleh RA Kartini, yang berhasil mengangkat derajat kaum perempuan pada tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki, walaupun sampai hari ini masih saja terdapat beberapa kesenjangan dan kekerasan terhadap perempuan.

Dari catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terdapat 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2004. Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya (2003) 7.787 kasus. Jumlah ini adalah kasus yang teridentifikasi. Dari 14.020 kasus tersebut, 4.310 di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 562 kasus trafficking, dan 302 kasus yang dilakukan aparat negara.

Padahal, jika dilihat sesungguhnya negara Indonesia telah memiliki UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sayangnya, pemerintah tampaknya masih "setengah hati" dalam mewujudkan pelaksanaannya.

Meski sudah ada UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, masih saja kekerasan terhadap perempuan terjadi. Kekerasan terhadap perempuan termasuk permasalahan yang cukup rumit. Kita akan berhadapan dengan masalah relasi, baik relasi personal (antarindividu), perempuan dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, maupun relasi sosial, perempuan dengan lingkungan masyarakat atau bahkan dengan negara. Jika memulai membangun relasi dengan konfrontasi, maka pasti reaksi yang muncul kemudian adalah resistensi (penolakan). Fakta di lapangan menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan relasi ini bisa terjadi dalam rumah, misalnya, antara suami dan istri.

Dengan relasi personal yang tidak seimbang ini, sering terjadi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan istri oleh suami, bentakan kasar, caci-maki, penelantaran rumah tangga, ancaman kekerasan, dan pemaksaan yang mengakibatkan kesengsaraan pada diri perempuan.

Pemberdayaan

Di tengah peliknya permasalahan tentang kekerasan terhadap perempuan di negeri ini sudah saatnya kita mengidentifikasikan masalah mendasar, yang menjadi pokok dari setiap hal yang merugikan kaum Ibu. Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasar selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi perempuan.

Dalam konteks hukum, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Hal lain yang jadi masalah, rendahnya kualitas dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak, rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender Related Development Index-GDI) sebesar 59,2 dibandingkan dengan angka HDI 65,8 dan Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement-GEM) 54,6 menempati ranking 33 dari 71 negara yang diukur. Masih banyak hukum dan peraturan perundangan yang bias gender.

Selain itu budaya patriarki yang masih banyak dianut di masyarakat Indonesia sering kali "memposisikan" perempuan pada status subordinat. Seperti, terlihat jika terdapat keterbatasan sumber daya dalam keluarga, maka adik laki- laki yang tetap meneruskan sekolah sedang kakak perempuannya diminta untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah dengan argumen bahwa mereka toh nantinya jika menikah juga akan bekerja di dapur.

Perubahan sosial-budaya masyarakat memerlukan waktu yang sangat lama bahkan mungkin dalam ukuran generasi, sehingga upaya yang berkaitan dengan perubahan sosial- budaya diupayakan melalui pembinaan yang terus-menerus.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Penghapusan Gender dalam Pembangunan. Inpres ini menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor, dan daerah masing-masing.

Dalam hubungan itu, kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan, meningkatkan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak, menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap untuk melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi termasuk kekerasan dalam rumah tangga.

Kemudian, meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender serta peningkatan partisipasi masyarakat.

Karakteristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada kodrat perempuan hanya untuk mengandung dan melahirkan. Melainkan pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Selain itu, tuntutan dunia modern telah meletakkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki.

Dengan demikian sudah sangatlah jelas bahwa perempuan juga memiliki peran yang tidak kalah dengan laki-laki. Oleh sebab itu, marilah terus berkarya kaum perempuan, tetapi dengan tetap sadar dan mengerti akan kedudukannya dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Saat ini yang perlu disadari bahwa telah begitu banyak pengorbanan dan sumbangsih kaum perempuan, baik yang secara biologis telah "berhak" menyandang predikat ibu maupun yang masih menunggu, tetapi tetap berhak mendapatkannya. Maka dalam memperingati hari pemuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodratnya, yakni hamil, melahirkan, menyusui, serta tugas-tugas dalam mewujudkan kemajuan keluarga, masyarakat, dan bangsa ini. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More