Paradigma Baru Tata Kelola Destinasi

Halaman 15 Media Indonesia, edisi 18 Mei 2011

Publikasi Media Indonesia, 18 Mei 2011

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera
Peneliti Muda Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan & Teknologi, LIPI

Banyak pendekatan yang telah dilakukan dalam pengelolaan dan pengembangan destinasi pariwisata di Indonesia. Mulai dari yang bersifat top-down, bottom-up, hingga kolaboratif. Ketiga pendekatan tersebut pada umumnya masih berbasis proyek dalam penyelesaian tahun anggaran berjalan.

Paradigma lama yang dijalankan tidak didekatkan dengan inti dari pariwisata itu sendiri. Dengan demikian, pengelolaan dan pengembangan sering kali diidentikkan dengan pembangunan fisik semata. Wajar jika satu-dua tahun kemudian ditemui hasil pembangunan fisik di lokasi-lokasi pariwisata telah rusak dan tidak berfungsi lagi.

Ada empat dimensi utama dari pariwisata, yaitu atraksi, fasilitas, transportasi, dan keramahtamahan. Atraksi erat kaitannya dengan alasan seseorang untuk datang ke kawasan wisata. Sumber atraksi biasanya berasal dari alam, budaya, etnisitas, ataupun hiburan. Atraksi membuat pengunjung mendatangi lokasi tujuan wisata, fasilitaslah yang melayani selama berada di sana. Mill menyatakan bahwa dukungan fasilitas bukanlah memulai, tapi menumbuhkan sebuah tempat tujuan wisata.

Adapun transportasi identik dengan bagaimana orang atau sekelompok orang melakukan perjalanan ke tempat yang berbeda (tujuan destinasi). Hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi yang lebih baik. Keramahtamahan sebuah kawasan diakui Mill sebagai perasaan yang timbul dari aktivitas atas penyambutan baik yang diterima wisatawan pada waktu mengunjungi sebuah kawasan.

Sesuai dengan UU No 10/2009 tentang Kepariwisataan, destinasi pariwisata dimaksudkan sebagai kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

Konsep itu mengandung arti bahwa destinasi wisata tidak mengenal pembatasan secara wilayah administratif, karena bisa saja objek berada di dua atau lebih wilayah administratif, sehingga dalam tata kelola destinasi haruslah menggunakan pendekatan fungsional dengan melihat kemanfaatan dan nilai tambah yang diberikan suatu objek terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat.

Tren pariwisata

Ada banyak riset menunjukkan bahwa saat ini telah terjadinya pergeseran, banyak wisatawan yang melakukan perjalanan dengan dilatarbelakangi hobi petualangan (minat khusus). Tren tersebut sangat berhubungan dengan penggunaan teknologi informasi yang digunakan sebagai media pencari dan sumber informasi akan suatu tujuan destinasi.

World Trade Organization juga mencatat bahwa internet telah menjadi media utama dalam pencarian informasi tentang destinasi pariwisata yang akan dikunjungi calon wisatawan. Diperkirakan, 95% wisatawan mendapatkan informasi melalui internet. Pertumbuhan penggunaan internet terus bertambah hingga 300% pada lima tahun berikutnya seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi.

Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi sejak 1980-an telah mengubah wajah pariwisata di dunia. Di sana telah terjadi revolusi dalam proses distribusi produk-produk pariwisata, komunikasi dengan konsumen, dan lintasan bisnis, di antaranya gambaran kewilayahan, akses-informasi, daftar harga, keamanan, serta jalur-jalur alternatif.

Kesemua itu merupakan dampak dari hadirnya teknologi informasi dan komunikasi. Saat ini pengembangan dalam penerapan elektronik pariwisata telah bergerak pada pemutakhiran dengan paradigma pengelolaan sistem informasi pariwisata terpadu melalui Destination Management Organization (DMO).

Paradigma tersebut mempertimbangkan peran dan fungsi suatu daerah tujuan wisata. Pengelolaan DMO dilakukan secara terpadu oleh lembaga pemerintah, perusahaan swasta, organisasi profesi, dan elemen-elemen yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata.

Fakta lain juga mencatat bahwa diperkirakan 80% dari wisatawan yang berkunjung ke destinasi-destinasi di Indonesia berasal dari negara-negara maju, yang telah terbiasa menggunakan internet sebagai sumber informasi dalam mengambil keputusan perjalanan wisatanya. Namun, masih harus disadari bahwa pemanfaatan kemajuan teknologi informasi di Indonesia masih sangat terbatas pada perusahaan besar atau internasional saja. Padahal, usaha atau industri kecil pun dapat memanfaatkan teknologi informasi dengan biaya terjangkau, asalkan ada yang mau memulainya.

Tata kelola baru destinasi

Tak mau kalah bersaing, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melakukan terobosan dengan menggagas tata kelola daerah tujuan wisata berlabel DMO. Tidak tanggung-tanggung, 15 destinasi unggulan ditetapkan sebagai cluster untuk dikembangkan dengan model tata kelola yang sukses diadopsi di berbagai penjuru dunia.

Ke-15 cluster DMO tersebut meliputi Kota Tua Jakarta, Pangandaran, Danau Toba, Bunaken, Sabang, Tana Toraja, Borobudur, Rinjani, Raja Ampat, Wakatobi, Tanjung Puting, Derawan, Danau Batur-Kintamani, dan Pulau Komodo-Kelimutu-Flores serta Bromo-Tengger-Semeru.

Konsep pengelolaan tersebut diartikan sebagai tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis, mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik.

Caranya melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi, serta pemerintah. Nantinya akan terlihat apa tujuan pariwisata di Indonesia, termasuk meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal, dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal.

Menggarisbawahi konsep yang telah tercetak dalam buku Pedoman Pembentukan dan Pengembangan DMO yang dikeluarkan Kemenbudpar, setidaknya ada empat sub-sistem yang saling hubung dan bersinggungan, yaitu destinasi, tata kelola, informasi komunikasi dan teknologi, dan pemasaran. Keempat subsistem itu mau tidak mau harus sebangun dalam pencapaian tujuan DMO.

Ada sebuah catatan penting dalam implementasi program DMO tersebut. Tata kelola tidak hanya semata-mata dipandang sebagai bentuk organisasi dalam pandangan klasik yang mengharuskan adanya bentuk hierarki pembagian tugas secara tegas dengan garis wewenang dan penugasan. DMO sejalan dengan kelahirannya di masa modern yang sarat akan isu-isu globalisasi. Hendaknya DMO dipandang sebagai bentuk pengorganisasian pengelolaan destinasi dengan menggunakan pendekatan modern pula, yaitu pemanfaatan jejaring, informasi, dan teknologi. Ada tiga komponen penting dalam, yaitu coordination tourism stakeholders, destination crisis management, dan destination marketing.

Keberhasilan program tersebut sangat mudah diukur dan sangat berdampak pada tiga indikator utama, mulai dari peningkatan volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besarnya pengeluaran wisatawan, serta membawa kemanfaatan bagi masyarakat lokal.

Kesemua itu ditentukan bagaimana destination marketing dapat menarik sebanyak-banyaknya pengunjung untuk datang ke wilayah yang telah dipromosikan. Banyak persepsi yang hanya memandang destination marketing sebagai bagian terpisah dari DMO. Justru bagian itu menjadi vital dalam memberikan informasi dan menarik minat wisatawan untuk datang ke wilayah tersebut. Dengan kata lain, percuma saja telah membangun kesadaran kolektif di antara stakeholders destinasi, membangun kawasan lebih baik, tetapi informasi tentang semua itu tidak dijalankan. Ketiga komponen tersebut haruslah berjalan secara bersama, dan bahu-membahu dengan saling dukung serta saling melengkapi. (Media Indonesia, 18 Mei 2011/ humasristek)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More