Membangun Indonesia Bersatu*

(Indonesia Masa Depan, dalam Perspektif Mahasiswa)

Penulis : Prakoso Bhairawa Putera, Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Sriwijaya

“Daripada kita bertengkar satu sama lain, lebih baik kita memerangi bahaya yang akan sama-sama kita hadapi, yaitu kekerasan, keserakahan, membongkar akar-akar pertikaian dan mencoba melaksanakan persamaan lebih besar dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya.” (Javier Perez de Cuellar)

“TIDAK akan ada asap bila tidak ada apa”. Namun, sekarang ini sulit untuk mencari asal api tersebut. Konflik merupakan kata pokok dari semua sumber masalah, di mana suatu konsekuensi dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, ssalah perhitungan, dan proses-proses lainnya yang tidak disadari dan ksemuanya bermuara pada tindakan serta aksi-aksi brutal. Konflik merupakan gejala yang tidak dapat terpisahkan dari hidup manusia. Orang yang bertindak ”semau gue” dan mendahulukan kepentingan individu pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian, pertentangan, kekacauan, dan ketidakselarasan.

Dalam mitologi kuno tergambar jelas berbagai konflik yang terjadi di kalangan dewa-dewa Olympus, epik Gilganesh ataupun Ahura Mazda menjadi contoh bahwa konflik terjadi sejak peradaban lampau dan kini terulang dalam peradaban modern di Indonesia. Suatu bangsa diyakini para filsuf akan senantiasa menghadapi ancaman yang justru datang dari sisi dalam. Dari filsafat Cartesian diyakini eksistensi bangsa terletak pada hasil pemikiran dan kesadaran sebuah bangsa. Jika hal ini terhenti, maka tidak mustahil kesadaran akan eksistensi sebuah bangsa akan dipertanyakan. Itu artinya akan menjadi ancaman bagi sebuah bangsa.

Dewasa ini kehidupan bangsa yang mejemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain (mutual respect and mutual understanding) telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.

Perkembangan kehidupan mutakhir tersebut jelas sangat tidak menguntungkan, khususnya terkait dengan upaya perekatan sosial (social integration). Maka musuh bersama yang sekarang menantang di depan mata sesungguhnya ialah rintangan berupa sikap absolutisme yang akut itu. Yakni, sikap yang terus merangsang sebuah klaim kebenaran yang mutlak dan terus dipaksakan ke ruang publik sebagai kebenaran yang tunggal dan monolitik. Dalam berbagai varian kehidupan sosial, realita ini muncul sebagai penguasaan wacana publik di antara berbagai pertarungan nilai. Absolutisme dengan retorika yang menggebu-gebu, padahal sarat kosong makna, kemudian hadir seolah-olah telah menghipnosis masyarakat.

Resultan yang diperoleh pada gilirannya ialah terjadi eksklusi sosial di tengah keterbukaan ruang publik. Sebuah gejala perpecahan sekat sosial semakin runcing dengan statisme model eksklusi sosial ini. Masing-masing kelompok yang berbeda dalam keadaan ini begitu sulit untuk menerima titik temu secara dialogis dan komunikatif, sehingga meniscayakan kekerasan, baik kekerasan simbolik berupa pertarungan ruang diskursif maupun kekerasan fisik yang dipakai sebagai logika penyelesaian masalah tanpa pikir panjang. Pada urutannya, lahirlah "otoritarianisme" dalam kehidupan sosial.

Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligark yang menghasung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.


Kewargaan yang Beradab


Nestapa bangsa Indonesia yang dirundung krisis demi krisis, musibah demi musibah, konflik demi konflik, hingga aksi anarkisme dewasa ini harus dihentikan. Minimal ada upaya untuk mencegah noktah hitam itu terus mengotori pakaian kebangsaan kita. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak kerugian yang harus dibayar dengan energi yang amat melelahkan, sementara kekuatan membangun bangsa belum optimal.

Jilid-jilid penderitaan mungkin tidak disadari (lagi) telah mengoyak kesatuan bangsa. Bayangkan, selain ragawi bangsa yang terus didera konflik dan ujian, kemiskinan dan peminggiran masyarakat masih menganga lebar, ternyata jiwa bangsa juga ikut terkoyak. Lebih tepatnya, hilangnya spirit membangun jiwa bangsa yang disodorkan oleh tata laku yang beradab, tepa slira, dan kedamaian. Betapa tidak? Tak ada penyelesaian akhir kecuali banyak yang memakai logika kekerasan. Tak ada solusi dialogis kecuali dengan egoisme melalui pembenaran diri, dan yang lain dipandang berdosa, salah, atau bahkan sesat. Tak ada pemecahan yang damai kecuali dengan budaya sektarian yang memecah-belah tanpa harus menyadarinya.

Kalau ditarik benang krisis dari problem tersebut, tidak terlalu salah jika yang terjadi sejatinya ialah kekeringan spiritual berbangsa. Buana kearifan yang berpangkal pada nilai-nilai transendental dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika luruh oleh penodaan-penodaan. Ada sesuatu yang hilang dari sini, yaitu darma kebajikan antarsesama untuk membangun kesatuan di tengah khazanah kemajemukan. Krisis yang amat fundamental ini mesti disadari betul sebagai kehilangan ruh yang manjadi daya penggerak kehidupan bangsa.

Ikatan sejati di tengah perbedaan melalui keadaban (genuine engagement of diversities within bonds of civility) sebagai intisari paham kemajemukan bernama pluralisme, buktinya, masih sebatas simbol belaka. Hilangnya spirit menegakkan cita-cita persatuan dan kesatuan dengan demikian menjadi tertunda, bukan tidak menyebut terhenti. Di atas hamparan bumi nusantara yang sangat berharga ini, berapa banyak yang masih mengupayakan kebersamaan? Bukan hanya kebersamaan dalam tampilan kasar berupa kebajikan yang kasatmata, melainkan juga kebersamaan dalam satu rasa dan nurani. Sebagai akibat menyusutnya ruh spiritual itu, lihatlah betapa banyak defisit nasionalisme (lack of nationalism) merekah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, dan reduksi keberadaban (uncivilized) dengan kekerasan membuncah melumatkan gapura serta bangunan di dalamnya. Sebagai akibatnya, tenda kebangsaan merobek, sementara upaya merendanya hanya secuil .

Menyadari hal demikian, titik balik peradaban bangsa harus diarahkan menuju masa depan yang optimis. Biarpun banyak sekali derita dan nestapa, namun proyek besar membangun bangsa harus terus diamanatkan. Oleh karena itu, upaya pertama yang mesti dilakukan ialah meraih common platform membangun kembali kebangsaan melalui revitalisasi secara berkelanjutan. Titik temu kesamaan ini sangat penting sebagai titik pijak bagi tenda besar kebangsaan dan kewargaan. Di tengah keinginan untuk bangkit, titik temu ini amat menentukan kebersamaan serta keteguhan.


Peran Generasi Muda (Kaum Intelektual Muda)

Sejak 1998, kesulitan seolah tidak pernah berhenti dari kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari krisis ekonomi sampai krisis eksistensi dan identitas. Nasionalisme yang menjadi kunci sebuah bangsa kini selalu dipertanyakan di Indonesia. Rantai persatuan yang dulunya kokoh kini begitu rapuh, peran generasi muda sebagai penerus bangsa pun ikut dipertanyakan dalam membangun kembali benteng bernama ’persatuan dan kesatuan’.

Generasi muda merupakan kelompok manusia yang pada saat ini sedang tumbuh dan berkembang. Sebagai penerus pembangunan sekaligus sosok kepemimpinan bangsa di masa mendatang, wajib bagi generasi muda mempunyai idealisme agar mampu mengemban dan menjalankan tugas tersebut.

Sejarah mencatat, generasi muda punya andil besar dalam memproklamirkan kemerdekaan republik. Gerakan pemuda Boedi Oetomo mampu menyatukan para pemuda dalam perkumpulan yang terorganisir pada saat pergerakan nasional 1908 yang selanjutnya melahirkan Sumapah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dengan lahirnya kesepakatan bersama anak bangsa akan satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa Indonesia telah menjadi tonggak dan warna baru dalam perjuangan yang mengutamakan persatuan dan kesatuan.

Persatuan dan kesatuan menunjukkan adanya keutuhan dari corak ragam dan unsur yang ada menjadi satu kebulatan yang utuh. Keanekaragaman suku, agama, tradisi maupun tempat tinggal dapat menumbuhkan pandangan berupa paham kebangsaan yang terwujud dalam kecintaan terhadap bangsa dan tanah air (nasionalisme). Nasionalisme bukan hanya mengandung nilai persatuan dan kesatuan. Tapi, nilai kebangsaan yang bebas dan bertanggung jawab, nilai-nilai keseimbangan yang menyangkut hak dan kewajiban pun terkandung di dalamnya.

Semangat Sumpah Pemuda, dengan ikrar 28 Okrober 1928 sepertinya mulai dilupakan. Akhir-akhir ini rasa kebangsaan kita mulai surut bahkan benar-benar mendekati surut. Apa yang dengan susah payah telah diperjuangkan dengan pengorbanan jiwa raga para pendiri dan pejuang kebangsaan seolah tiada harga dan nilainya lagi. Pertikaian dan kekacauan politik menyebabkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa menjadi robek dan terluka parah, ketika pelbagai konflik, kecurigaan dan ketidakpercayaan sosial mewarnai perjalanan bangsa.

Mengembangkan iklim kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan segenap potensi, bakat, dan minat dengan memberikan kesempatan dan kebebasan mengorganisasikan diri secara bebas dan merdeka dengan tetap diikuti rasa tanggung jawab, perlu diciptakan sebagai wahana pendewasaan diri. Dalam suasana sosial yang diwarnai oleh erosi akan nilai dan merajalelanya kemunafikkan membuat negara ini begitu mudah terpancing isu-isu yang menyebabkan goyahnya persatuan dan kesatuan kita. Oleh karena itu, perlu disadari dari diri genarasi muda sifat fanatisme berlebihan.

Langkah Konkrit Pembaruan

Sudah selayaknya generasi muda lebih memprioritaskan kebersamaan dalam kebhinekaan, persatuan, kesatuan dan kreativitas membangun bangsa. Karena generasi inilah yang berkewajiban menjalankan paradigma baru bangsa dengan potensi, kreativitas, optimisme, dan sikap kebhinekaan yang mampu menguasai diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak melupakan ajaran ilahi. Untuk semua itu perlu adanya persatuan diantara individu-individu bangsa ini, terlebih di antara generasi mudanya.

Sebagai kaum muda harapan bangsa, pemuda wajib membangun kembali benteng persatuan yang sempat goyah. Untuk mengupayakan hal itu harus dimulai dengan komitmen kebangsaan, idealisme yang kuat akan keinginan untuk tetap berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan rasa persatuan kesatuan itu sendiri. Generasi muda juga perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena dengan ini berarti kita memperlakukan orang lain secara sama, tanpa membedakan status sosial sehingga orang lain merasakan diperlakukan secara adil sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Bekerjasama sapat menumbuhkan kebersamaan yang bermuara pada rasa persatuan dan kesatuan. Sebagai orang muda, jangan takut untuk minta maaf. Dalam kehidupan. Wajar jika terkadang kita melakukan kesalahan. Karena, bila masalah kecil kita biarkan maka lama kelamaan akan menjadi besar dan ini akan membahayakan persatuan kita bersama. Telah banyak contoh yang mengarah pada hal ini, akankah kita menambahnya? Olah karen itu, generasi muda harus berupaya untuk dapat menyelesaikan masalah dari yang kecil-kecil agar tidak membahayakan perstuan bangsa. Mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dapat menghindarkan kita dari usaha-usaha provokatif pihak lain. Di lain pihak, menjaga sikap dan mampu mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat perlu dikembangkan oleh generasi muda. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari dapat dijadikan uapaya membangunkan kembali rasa persatuan, karena dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi kesalahpahaman akan terhindar.

Orang selalu mengimpikan sebuah kedamaian di mana setiap orang bebas hidup dengan damai dan mewujudkan cita-citanya. Baru belakangan ini kita mulai menyadari bahwa dengan kerjasama, kita mampu membangun dunia yang damai. Daripada kita bertengkar satu sama lain, lebih baik kita memerangi bahaya yang akan sama-sama kita hadapi, yaitu kekerasan, keserakahan, membongkar akar-akar pertikaian dan mencoba melaksanakan persamaan lebih besar dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya. (Javier Perez de Cuellar).

Di dalam tugas yang memakan waktu dan menantang ini, mantan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar mengatakan bahwa kita harus membentengi diri dengan kepercayaan pada nilai-nilai keutamaan manusia akan cinta, kasih sayang, dan kebijaksanaan sebagai modal untuk memandang masa depan.

Jika kita hubungkan dengan Indonesia, maka generasi muda saat ini merupakan generasi yang akan mewujudkan paradigma baru pembangunan mendatang dengan tetap terlebih dahulu perlu membangunkan kembali Persatuan dan Kesatuan. Ini dapat dicapai melalui peningkatan komitmen kebangsaan di dalam sanubari masing-masing agar nasionalisme Indonesia baru akan berpijar dalam bentuk gagasan dan pandangan bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia...***

*BERsama SAtukan TUjuan

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More