(Re-Posting) Energi Alternatif Itu Bernama Gas Bumi

Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S, Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Sriwijaya

Isu bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sama mudah terbakarnya layaknya bahan bakar itu sendiri. Mengapa? Jawabannya akan dengan mudah terlontar. Puluhan juta rakyat jelata di negeri yang konon terkenal dengan gema ripah lojinawi ini sangat tergantung dan ditentukan hidupnya oleh BBM. Sumber energi utama untuk menyalakan api di dapur-dapur rumah mereka adalah minyak-tanah. Kenaikan harga salah satu jenis BBM saja dapat berakibat fatal mematikan penyulut api dapur di rumah-rumah penduduk mayoritas kelas menengah ke bawah. Maka, minyak-tanah pun telah menjadi salah satu kebutuhan pokok seperti bahan pangan beras, garam, gula, dan minyak-goreng.

Realita yang ada selama ini, kenaikan harga BBM jenis apa pun -- bukan hanya minyak-tanah -- selalu menjadi pemicu kenaikan harga bahan-bahan pokok lainnya. Bahkan, sekedar 'berita desas-desus' saja (bahwa akan ada keputusan pemerintah menaikkan harga BBM), sudah cukup untuk membuat lonjakan harga-harga bahan pokok, ongkos angkutan umum, rekening-rekening air minum, listrik, dan telepon, biaya-biaya sekolah dan jajan anak-anak, harga obat-obatan generik dan biaya-biaya perawatan kesehatan dasar, dan seterusnya. Spekulasi harga menjadi suatu gejala umum menyertai setiap kejadian kenaikan harga BBM. Kalangan industri dan pabrikan besar pun selalu menjadikan kenaikan harga BBM sebagai 'alasan pembenar' untuk ikut menaikkan harga barang-barang jualan mereka. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan beban biaya hidup sehari-hari puluhan juta rakyat negeri ini.

Maka, bukan hal baru kalau peristiwa kenaikan harga bahan bakar minyak selalu diikuti aksi unjuk-rasa massa. Beberapa dari aksi tersebut bahkan membesar menjadi gerakan menuntut perubahan kekuasaan dan sistem politik nasional, bukan lagi sekedar menolak kenaikan harga BBM saja. Gelombang terbesar aksi unjuk-rasa rakyat dan mahasiswa yang terakhir pada tahun 1998 -- yang akhirnya menjungkalkan rezim Orde Baru dan Presiden Soeharto -- bermula dan berjalan seiring dengan aksi-aksi menentang kebijakan pemerintah mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Beberapa rangkaian gerakan protes massa sejak tahun 1980-an juga bermula dan berjalan seiring dengan aksi menolak kenaikan harga BBM.

Singkatnya, masalah harga bahan bakar minyak bukan hanya telah menjadi salah satu faktor determinan utama dalam perekonomian nasional, tetapi juga telah menjadi salah satu 'isu politik praktis' yang sangat peka di Indonesia. Bukan hanya organisasi-organisasi rakyat dan gerakan mahasiswa yang selalu menjadikannya sebagai 'isu penyulut' aksi-aksi protes mereka, bahkan partai-partai politik beserta organisasi-organisasi massanya pun selalu juga memanfaatkannya sebagai 'bahan kampanye'. Para pengkhotbah di majelis-majelis keagamaan pun sering menjadikannya sebagai 'bumbu penyedap' ceramah-ceramah mereka dalam nada satiris yang pekat. Tidak heran jika pemerintah pun selalu sangat berhati-hati dengan masalah ini.

Melonjaknya harga bahan bakar minyak (BBM) akibat lonjakan harga minyak dunia dan makin dikuranginya subsidi BBM pemerintah sehubungan dengan kondisi keuangan negara yang makin seret, telah menyadarkan kalangan pejabat, birokrat, pengusaha dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya upaya-upaya pengembangan sumber bahan bakar alternatif.

Tak hanya Indonesia yang dipaksa berpikir untuk mengabil langkah strategis, berjangka panjang, berkesinambungan, di seputar masalah kebijakan energi. China yang mengonsumsi minyak 6,5 juta bph pada tahun 2004 dan diperkirakan memakai 10,5 juta bph pada tahun 2020, sedang melalukan “revolusi” energi. Juga Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan sejumlah negara Asia seperti Jepang, Thailand, dan India.
Kalau tidak direm, konsumsi minyak oleh bangsa Indonesia bisa melonjak tajam. Ada pakar yang mencatat prediksi kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2010 sekitar 1,6 juta bph. Kebutuhan ini ekivalen dengan minyak mentah 2 juta bph.

Apa yang dicatat oleh sang pakar memang belum terjadi, tetapi kalau trend konsumsi BBM oleh bangsa ini tidak direm, kemungkinan krisis energi minyak tidak mustahil terjadi. Karena kebutuhan energi adalah bersifat kebutuhan primer dan selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan ekonomi Nasional yang terus dipacu dan terus membaik, maka tingkat konsumsi energi akan ikut terdongkrak.

Tidak ada alasan lain kecuali memfungsikan sumber daya energi lainnya yang terkandung ataupun dimiliki bangsa ini. Dengan kata lain energi alternatif menjadi pilihan tepat.

Energi Alternatif: Gas Bumi

Energi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Di Indonesia, terdapat beragam sumber daya energi, baik yang tidak terbarukan maupun yang terbarukan. Pembangunan yang berjalan dengan cepat dan jumlah penduduk yang besar membutuhkan dukungan energi. Walaupun akhir-akhir ini, perekonomian Indonesia terpuruk yang mengakibatkan terjadinya penurunan kebutuhan energi yang sangat tajam.

Energi memang tak hanya minyak bumi. Ada banyak sekali sumber energi yang bisa kita manfaatkan. Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan akan energi jangka pendek dan menengah saat ini, tidak lain tidak bukan adalah sumber energi yang siap ’dinikmati’ layaknya minyak bumi. Energi alternatif yang dimaksud adalah gas bumi atau yang lebih dikenal dengan sebutan gas alam, yang masih satu kelompok dengan minyak bumi sebagai bahan bakar fosil (fossil fuel).

Dikatakan alternatif karena bahan bakar yang satu ini memang dapat digunakan untuk menggantikan BBM yang harganya belakan ini melonjak drastis, namun selama ini tingkat pemanfaatannya di dalam negeri masih terhitung rendah, walaupun dari segi potensi, negeri ini memiliki sumber bahan bakar alternatif yang cukup melimpah.

Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar di tanah air sebetulnya sudah memasyarakat. Bahkan, selain dipakai oleh industri, bahan bakar gas juga sudah banyak dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, untuk bahan bakar kendaraan bermotor, dan untuk kebutuhan bahan bakar industri. Hal itu tidak terlepas dari preferensi masyarakat yang lebih tinggi terhadap gas karena penggunaan gas jauh lebih bersih dan relatif kecil dampaknya terhadap lingkungan. Bahkan dibanding dengan BBM sekalipun, penggunaan bahan bakar gas jauh lebih bersih dan lebih aman terhadap lingkungan.

Pendistribusiannya juga bervariasi mulai dalam bentuk LPG (Liquefied Petroleum Gas), CNG (Compressed Natural Gas) sampai penyaluran melalui pipa-pipa gas ke industri maupun ke rumah tangga. Indonesia memiliki cadangan gas cukup besar dan dikenal sebagai salah satu produsen dan eksportir gas alam terbesar di dunia. Kebutuhan gas alam di dalam negeri selama ini hanya sekitar 7% dari total produksi gas alam nasional. Sebagian besar gas alam itu diekspor ke mancanegara untuk memenuhi kebutuhan industri di luar negeri. Hal ini disebabkan belum dilakukannya optimalisasi dalam hal penggunaan sumber energi gas. Wajar saja bila kemudian pemerintah melakukan kebijakan ekspor gas alam dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas). Namun, bila kondisi yang terjadi saat ini dimana bahan bakar minyak tidak dapat diandalkan lagi, maka jalan terbaik adalah meminimalkan ekspor gas alam dengan diikuti optimalisasi penggunaan gas alam untuk pengganti bahan bakar minyak.

Lumbung Energi Sumsel

Seperti yang pernah ditulis oleh Husein salah seorang wartawan Sriwijaya Post, pada edisi minggu tanggal 30 April 2006 yang lalu, bahwa memang sudah saatnya era gas bumi tidak dapat lagi dibendung terlebih ditolak. Komsumsi gas bumi dari tahun ke tahun terus meningkat, tidak hanya efisien karena murah dan ramah lingkungan, tetapi juga gas bumi menjadi bahan bakar alternatif untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, jasa transportasi dan industri. Bahkan kini tercatat beberapa industri besar di Pulau Jawa sedang menanti suplai gas bumi asal Sumsel. Dengan demikian sudah selayaknya masing-masing pemerintah daerah melakukan tindakan nyata menuju kegiatan diversifikasi energi ini.

Indonesia memang mempunyai cadangan gas alam yang besar, begitu juga dengan Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki cadangan gas sebesar 24,18 TSCF atau 6,29 persen dari total cadangan nasional, kesemua ini baru dilakukan eksplorasi sebesar 0,29 TSCF (9% Nas). Sehingga ini sangat menjanjikan untuk menunjang kegiatan diversifikasi energi nasional dengan pemanfaatan energi gas bumi.

Hanya yang perlu diperhatikan adalah akan cukup sulit untuk mengalihkan bahan bakar minyak yang sudah cukup melekat pada setiap kebutuhan hidup masyarakat. Selain itu juga diperlukan investasi yang amat besar untuk memperluas infrastruktur distribusi gas alam di dalam negeri guna pemenuhan gas rumah tangga dan kendaraan umum (Stasiun Pengisian Bakar Bakar Gas/SPBG).

Seiring dicanangkannya Sumatera Selatan sebagai "Lumbung Energi Nasional" oleh Presiden RI beberapa waktu yang lalu, membuat pemerintah daerah mulai berbenah diri guna mewujudkan program tersebut. Langkah besar yang dilakukan pemerintah daerah adalah dengan menjalin kerjasama berupa Nota Kesepahaman Kerjasama Pengembangan dan Teknik Utilisasi Gas Bumi di Wilayah Sumsel, yang ditandatangani Dirut PT PGN, WMP Simandjuntak dengan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dan Rektor Unsri Zainal Ridho Jafar di Pemprov Sumsel, 7 September 2005 lalu. Melalui kerjasama itu, wilayah Palembang pada tahun 2007 ditargetkan dapat menikmati gas bumi yang murah.

Penanda tanganan kesepakan ini merupakan titik awal penggunaan energi alternatif gas bumi di bumi sriwijaya. Sehingga pada akhirnya gas bumi selain dimanfaatkan untuk kegiatan di sektor industri berbasis gas, juga dapat diperuntukkan komersial dan rumah tangga. Selain itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi sektor transportasi melalui CNG (Compressed Natural Gas) --- seperti yang telah dilakukan oleh beberapa perusahan jasa transportasi di kota-kota besar pulau Jawa.

Dengan semangat besar ini tentunya jangan sampai membuat pemerintah lupa bahwa ada hal penting untuk dilaksanakan yakni keterlibatan pemerintah daerah dalam percepatan proses pipanisasi gas untuk konsumen perumahan di bawah naungan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Keterlibatan sumber daya manusia lokal dalam pelayanan gas ke masyarakat secara tidak langsung memberikan kepercayaan kepada SDM yang ada untuk membuktikan keilmuan yang dimiliki. Kerjasama ini juga akan membentuk perusahaan patungan yang akan mengoperasikan jaringan distribusi gas di Sumsel. Perusahaan patungan ini akan bertindak sebagai jaringan distribusi sekunder ke pelanggan di Sumsel.

Dengan adanya jalinan kerjasama ini tentukan semakin membuka jalan menuju Sumsel Lumbung Energi Nasional dan pemanfaatan energi alternatif bernama gas bumi semakin dekat dan bisa dinikmati oleh masyarakat layaknya memperoleh bahan bakar minyak. Pastinya gas bumi adalah alternatif yang patut mendapatkan perhatian besar untuk dijadikan sebagai subtitusi bahan bakar minyak, mengingat begitu besarnya cadangan das bumi yang belum terekplorasi dan begitu bermanfaatnya penggunaan gas bumi karena ramah terhadap lingkunga. Semoga semangat dan cita-cita luhur ini bisa terlaksana, Semoga...!

Posting Awal: 30 Juni 2006

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More