Publikasi di Suara Karya, 01 Juli 2009
Oleh: Prakoso Bhairawa Putera
Penulis adalah Duta Bahasa Nasional, peneliti LIPI, Jakarta.
Penyebaran narkotika, alkohol, dan zat adiktif (NAZA) di Indonesia setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Awal tahun 1980-an, jaringan narkoba di Indonesia masuk dalam jaringan terbesar di Asia Tenggara. Dengan perangkat perundang-undangan yang relatif tidak tegas (saat itu) bagi pengedar ataupun pemakai, menyebabkan kita dijadikan kawasan potensial peredaran sindikat narkoba dunia. Entah berapa banyak kasus tercatat di kepolisian Indonesia yang tak jarang warga negara asing tercatat dalam buku hitam kepolisian. Ini membuktikan bahwa Indonesia benar-benar telah disusupi sindikat pengedar internasional. Dan, target market mereka adalah remaja dan anak-anak.
Tingginya kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini secara langsung maupun tidak berpengaruh pada bertambahnya jumlah pengguna baru. Sebuah penelitian di tiga kota besar memperlihatkan 88% pemakai narkoba melalui jarum suntik menggunakan jarum tidak steril secara bergantian. Hanya kurang dari sepertiga dari mereka yang menyadari dirinya berisiko untuk tertular dan menularkan human immunodeficiency virus (HIV). Di Jakarta, satu dari dua pecandu narkoba terinfeksi HIV, sementara di Pontianak, Kalimantan Barat, lebih dari 70% pecandu narkoba suntik yang dites HIV ternyata menunjukkan hasil positif.
Mayoritas pengguna narkotika berada dalam usia produktif dan aktif seksual (15-49 tahun). Dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang terjangkit penyalahgunaan narkoba, maka negara pun turut dirugikan dalam segi finansial. Berdasarkan referensi, apabila satu persen penduduk Indonesia terjangkit penyalahgunaan narkoba, maka setidaknya terdapat 2,2 juta pecandu.
Ini berarti negara harus mengeluarkan dana penanggulangan masalah narkoba sebesar Rp 66 triliun per enam bulan. Jumlah ini akan makin meningkat karena data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,3 persen dari total penduduk.
Para ahli di bidang ini acap kali mengingatkan kita agar menghindari penyakit sosial yang telah banyak merenggut korban akibat overdosis (OD). Peran lingkungan dan teman sepermainan sangat menentukan. Narkoba memiliki efek yang buruk bagi tubuh, dan efek ini berbeda antara orang satu dan yang lainnya. Efek langsung itu seperti kesenangan yang hebat, merasa sehat, berkurang rasa sakit, lapar, dan nafsu bersetubuh. Pecandu juga rawan tertular virus hepatitis C dan AIDS melalui jarum suntik yang tidak steril. Kejadian infeksi virus hepatitis C pada pengguna narkotika lewat suntikan dilaporkan mencapai 80,2 persen di Jakarta.
Infeksi itu akan berkembang menjadi hepatitis C kronis pada 60-80 persen di antaranya. Sepuluh sampai 20 persen penderita hepatitis kronik akan mengalami sirosis hati dalam kurun sepuluh tahun. Bahkan, sebanyak 20-30 persen pasien narkoba yang dirawat di Jakarta dinyatakan positif mengidap HIV.
Hambatan utama pemberantasan peredaran selalu mengalami jalan buntu, pemerintah acapkali dibenturkan dengan berbagai permasalahan yang ada. Sebenarnya kunci pemberantasan bukan berada pada pemerintah saja, tetapi semua komponen di republik ini. Pemerintah wajib memberikan perangkat hukum yang lebih keras, dan bila perlu "mematikan" bagi para sindikat yang terlibat di dalamnya, baik itu pengguna, pengedar maupun produsernya.
Kunci lain yang bisa dilakukan adalah memperbanyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan remaja di dalamnya, dan tanpa henti-hentinya menyuarakan say no to drugs, yang klasik tetapi patut untuk disuarakan; memperketat pengawasan terhadap anak-anak sekolah dari tingkat yang paling rendah (SD) hingga perguruan tinggi. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah kehangatan keluarga.
Kemampuan orangtua dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak-anaknya sangatlah penting sebagai langkah awal. Ketidakpahaman orangtua akan dunia kaum muda dan tantangan yang mereka hadapi di sekolah atau kampus akan membuat orangtua tidak dapat menangkap gejala-gejala dini.
Anak-anak akan membutuhkan pendidikan dari ayah dan ibunya untuk menjadi anak yang mampu bersikap tegas. Keluarga yang cenderung menekan anak sehingga berkembang menjadi anak yang kodependen, akan mempersulit sang anak mengatakan tidak pada saat ia perlu mengatakan tidak dan saat ia perlu menciptakan batasan (boundary). Anak-anak kodependen sering sulit menolak ajakan teman. Ini juga yang akan mempersulit mereka menolak ajakan teman untuk memakai narkoba dan menolak ajakan berhubungan seks. Rasa tak percaya diri, rasa sungkan, membuat mereka lebih baik menekan perasaan dan tutup mulut.
Atas dasar hal ini, anak-anak perlu diberdayakan dengan membuatnya bebas berekspresi, sehingga setiap ada masalah ia siap berdialog dengan orangtuanya kapan saja. Di sinilah pentingnya peran orangtua bahwa kampanye say no to drugs tak akan berhasil jika lingkungan keluarga dan sosial si anak tidak mendukung. Ini terkait dengan perkembangan mental dan emosi anak serta informasi yang mereka dapatkan dari orangtuanya mengenai realitas kehidupan. Dengan begitu, ada antisipasi dari mereka ketika menemui sejumlah masalah, termasuk narkoba dan lalu HIV.
Apabila anak terkena masalah, sangat penting bagi orangtua dan keluarga untuk mengambil tindakan, tetapi jika hanya menutupi rasa malu atau ingin menjaga nama baik keluarga, tindakan itu menjadi tidak membantu. Inilah persoalan khusus yang mengkhawatirkan apabila terjadi pada anak. Selagi dini, masih ada jalan untuk memperbaiki setiap kerusakan dan permasalahan yang terjadi. Beri kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka, karena setiap jiwa yang terlahir telah diberikan keistimewahan. Keistimewahan itulah yang kemudian tumbuh menjadi minat dan bila diteruskan bisa menjadi prestasi yang membanggakan bersama.
Sekali lagi, mari kibarkan bendera perang terhadap narkoba agar kehangatan cinta dan kasih sayang dapat terwujud mulai dari lingkungan keluarga hingga negara tercinta ini.**
0 komentar:
Posting Komentar