Kontemplasi 11 Mei
kembali kulepas satu umur hidup
kini ruhku seribu centi lebih dekat
tafsir angin dan gelombang
membuat jiwa kehilangan banyak masa
pada bibir Tanjung kulafazkan sajak zikir
desahku, riakmu, detakku, ayatmu
berintegral dalam langit pagi
kucicip embun diantara ilalang
kukecup hangat tanah berpasir
aku kehilangan banyak masa untukMu
Sepotong Bulan di Musi
ada yang menari di riak sungai
cahayanya jatuh mencumbui tiap sudut
dari seberang ilir hingga seberang ulu
tapi hanya sepotong tampak olehku
dan pada ruang di bola mata
tak ada lagi motor tempel
yang selalu menjilati musi seperti siang tadi
bahkan rumah rakit di seberang
tempat bengkel karoseri taxi air
hanya terlihat sebentuk cahaya
malam kembali memainkan peran
menjadi saksi bagi rutinitas anak manusia
dari pelataran benteng malam memberikan
sepotong bulan dan sejuta bintang di mataku
barangkali ia paham arti perjuagan hingga
tak rela membiarkan hati tersiksa demi cinta
membiarkan perasaan berbohong demi kata sayang
:gelap tak selalu hitam bagi diri
di antara kesendirian malam
ada syair luka yang dikirimkan Musi
sampah telah membuatnya malu untuk bercermin
Musi, kita berdua punya duka yang sama
walau dengan cerita yang berbeda
tapi kau lebih baik
kau jujur akan deritamu
sedang aku bersembunyi di tawa sepanjang tahun
tapi semuanya baru saja ditenggelamkan
di dasarmu dan arus takkan sanggup
membawanya ke seratus anak-anakmu
karena beban yang kulepaskan begitu berat
hingga asa putih dapat terbang ke bulan
untuk menjemput sepaket impian
agar besok di pagi ada kehangatan
dari mimpi yang terwujud
ada lukisan senyum di wajah
dan yang pasti akan ada narasi baru
dengan dirimu di sisiku
Palembang, 31/12/2004
Sketsa Asa
dahulu,
ada sebuah harmoni yang mampu
meruntuhkan tiang di rumah ke sembilan
menenggelamkan susunan batu suci
tempat bersemayamnya kepercayaan pada cinta
yang selama dimensi waktu telah tumbuh
jadi sebentuk bayangan di tiap kesendirian
kuor dari harmoni atas nama kegelapan
membuka pertemuan lubang hitam dan neraka
di rumah; dinding – pintu – bahkan bantal kesayangan
melempar kutukan yang semakin melebarkan luka
menjauhkan mimpi dari rongga malam
bersama jiwa tersudut sepi
menggigilku bersama detik
semalam ada lampu kota yang merayu bulan purnama
angin dan kunang-kunang menari-nari
di atas gedung tinggi menggoyang dan mendekap diri
0 komentar:
Posting Komentar